Bahasa, Komunikasi dan Adab

Beberapa bulan terakhir, saya harus mantengin medsos, khususnya X dulu Twitter.  Selain urusan pekerjaan, tugas itu juga bagian dari penelitian. Secara khusus saya memperhatikan dua hal (bukan topik yang berkaitan dengan  urusan pekerjaan dan penelitian), yaitu pertama: gemarnya orang berkomentar dan kedua penggunaan kata-kata kasar. Untuk satu cuitan dari akun, bahkan seremeh apapun, baik kecil maupun besar, ada saja yang memberi komentar. Yang lebih dahsyat adalah kata-kata makian. Jika kata-kata sejenis go***k, ta*, ba**S** kelar dari mulut dan ibu saya mendengar sudah pasti saya akan dijewernya plus dimasukkannya kencur (sejenis rimpang untuk bumbu) ke mulut sebagai hukuman. Sampai sekarang saya trauma akan kencur (ngomong-ngomong kencur adalah bumbu gado-gado atau pecel yang bikin makanan jadi enak).

Kembali ke urusan pilihan kata yang tidak enak didengar tapi sepertinya nikmat diucapkan atau dituliskan, beberapa waktu lalu ada sebuah peristiwa yang sempat masuk ke ranah hukum. Seseorang yang terkenal di media dan mendapat label akademisi serta dosen di sebuah universitas ternama menggunakan kata baji***n sebagai kata ganti pemimpin negeri ini. Ia berbicara dalam konteks menilai negatif keputusan-keputusan politik dan ekonomi di negeri ini. Sontak perbincangan meledak. Pro maupun kontra tentang layak tidaknya sematan kata tersebut untuk manusia apalagi dengan label sepenting itu. Berbagai media membuat ulasan, televisi membuat program dialog berjam-jam dan media sosial lebih-lebih lagi, yaitu dengan timbunan kata-kata yang tak kalah membikin merah telinga.

Apakah masyarakat modern (minimal di Indonesia, atau Jawa atau kalau diperkecil lagi, kota-kota besar) telah secara sadar menggeser makna kata makian menjadi kata-kata biasa seperti sapaan umumnya?

Banyak perbincangan online dan offline di café, kampus, mal yang berisi kata anjing, anjir, anying. Tak ada ekspresi kemarahan, bahkan suasana terkesan meriah. Bahkan pemain game online atau streamer yang bisa-berjam-jam bersiaran bebas menggunakan kata-kata ……..(aihh saya susah menuliskannya, alat kelamin) sambal bersorak gembira. Woww, waaww (wadidaw kata anak sekarang). Komunikasi verbal biasanya akan diperkuat dengan bahasa tubuh nonverbal. Ketika seseorang menggunakan kata makian, maka Bahasa tubuhnya seiring dengan itu, misalkan tangan mengepal, mata meotot dan tubuh menegang. Namun itu semua bertolak belakang, karena tubuh justru sangat rileks, tertawa dan bersorak saat kata makian terdengar. So?

Njeri Kagotho, dkk. (2023) menyimpulkan penggunaan kata-kata kasar dalam kehidupan akademik perguruan tinggi terjadi di Amerika dan seluruh dunia. Hal serupa juga terjadi di dunia maya, ucapan kasar, ujaran kebencian dan serangan verbal sudah meluas di dunia maya. (Angelo Antoci, dkk. 2016). Penggunaan kata-kata itu merebak, melesat, dan meroket hampir tanpa kendali.

Sebagai orang Jawa, saya teringat ketika harus menggunakan kata dalem kepada kakek nenek sebagai pengganti kulo (saya, Ind.). Terkesan feodalistik. Ya, tidak egaliter. Namun rasanya bila itu bentuk penghargaan bagi yang lebih tua, mengapa tidak? You have nothing to lose, don’t you? 

Ini tentang cara berkomunikasi. Seseorang bisa juga mengatakan, selama kedua belah pihak dapat menerima isi dan tujuan pembicaraan, apapun konteksnya, walau ada kata-kata kasar terselip, maka komunikasi tetap aman kan? Hmmm iya juga, tetapi saya tidak sepakat sepenuhnya.

Komunikasi intrapersonal atau komunikasi antarpribadi mempertimbangkan banyak aspek, etika, budaya, dan lokasi (DeVito, 2001). Tidak mempertimbangkan aspek-aspek tersebut, masalah bisa timbul di kemudian hari. Mulai dari yang ringan, yaitu perbantahan tanpa henti, hingga bentrokan fisik atau bahkan putusnya hubungan.

Bisa saja satu saat (mungkin) waktu yang entah berapa decade, atau bahkan hitungan bulan saja, masyarakat bersepakat untuk menerima kata-kata makian sebagai hal biasa. Saat itu peradaban berubah sama sekali, sebagai akibat peristiwa tertentu (saya berkhayal). Kondisi justru mewajibkan penggunaan kata-kata kasar. Jika tidak, komunikasi justru menjadi tidak pas. Atau bahkan pelaku kata-kata sopan justru dilaporkan kepada penegak hukum. Aihhhh. Tiba-tiba saya jadi teringat almarhum ibu saya, dan merindukan kencurnya.

Jakarta, 11 Oktober 2023

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalPanas, Panas, Panaaassss…!!!