Maafkan Saya, Maafkan Kami

Hal ini terjadi bertahun lalu, tetapi detilnya masih teringat seolah baru terjadi. Hari belum lagi siang dan udara masih relatif dingin. Bersama isteri, saatnya saya mengantar si anak bungsu masuk sekolah di sebuah SD di bilangan Kota Tangerang Selatan, Banten.

Namun, jalanan menuju sekolah sudah padat dengan mobil dan motor pengantar anak-anak sekolah. Mereka tidak ingin terlambat dan mendapat teguran atau bahkan hukuman dari sekolah yang dikenal menjunjung tinggi disiplin itu.

Antrean mobil terjadi, karena pintu masuk sekolah itu berada di jalan yang bisa disebut jalan protokol. Letaknya juga tepat di perempatan tempat perkantoran, pertokoan dan perumahan. Oh ya, jangan lupa, ada pasar modern berjarak beberapa ratus meter. Bisa dibayangkan, setiap kendaraan, baik yang menuju sekolah atau sekedar melintasi jalan merayap perlahan. Stop and go. Tiba-tiba, dari arah belakang kiri kendaraan kami terdengar suara decitan: ciiitttt…..braakk! Kendaraan yang belum selesai cicilan itu terguncang.

Waduh! Masalah, nih, pikir saya.

Benar sekali.

Ruang di antara barisan kendaraan kami dengan barisan mobil sebelah kiri kami terisi oleh seorang pemuda bersama motornya. Ia meringis kesakitan, karena terjepit di antara motornya dan mobil kami. Stang motornya merobek pintu depan. Betul, robek. Bukan sekedar baret atau penyok. Bayangkan betapa kerasnya tumbukan itu.

Lupakan soal pembiayaan membereskan pintu yang robek. Urusan asuransi deh. Yang membuat saya marah bukan itu, tetapi buruknya tindakan si pemuda. Di tengah kondisi lalin yang macet dan padat, kok bisa-bisanya ia mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi? Terbukti dengan suara decitan bannya yang keras saat ia mengerem, serta besarnya dampak kerusakan di mobil akibat tabrakan itu. Kemarahan saya meluap. Sambil mendekati sang pemuda yang meringis kesakitan di trotoar setelah dipapah beberapa orang, saya berteriak di depan wajahnya:

“M**i aja lu! Biar ma***s sekalian! Nggak pakai otak lu nyetir kayak gitu?”.

Dia terdiam. Entah mendengar ucapan saya atau tidak.

Amarah membuat saya lupa dengan perilaku dan ucapan kesopanan. Semuanya spontan menyembur keluar seperti isi perut gunung yang meletus. Ada kepuasan setelah melampiaskan kemarahan itu pada si pemuda. Tanpa basa basi lagi saya pun meninggalkannya, masuk ke mobil dan meninggalkan lokasi seiring dengan melancarnya kondisi lalu lintas.

Setelah beberapa saat, bahkan sampai sekarang, saya bertanya-tanya, apakah itu hal terbaik yang saya uncapkan dan lakukan saat itu? Tidakkah lebih baik saya bertanya, apakah dia baik-baik saja? Apakah ada masalah dengan tubuhnya setelah tabrakan itu? Jangan-jangan dia sedang dalam kondisi kalut, atau tidak sehat. Atau motornya justru yang bermasalah, sehingga dia mengalami hal yang berada di luar kendali. I feel bad. Saya yakin saya seharusnya bisa lebih baik dari sekedar memaki dan menyumpahinya. Maafkan saya.

Dalam tulisannya, Mc Cullough dkk (2000) mengingatkan masyarakat modern akan kecenderungan untuk menjadi lebih emosional dan depresi sebanding dengan meningkatnya tekanan situasi internal serta eksternal. Dalam situasi itu kematangan emosi memainkan peranan penting untuk menyeimbangkan kehidupan pribadi seseorang. Anderson (2006) menyebutkan memaafkan adalah bentuk kematangan emosi yang dapat menurunkan kecemasan dan depresi.

IKComm telah menangani banyak krisis reputasi yang melibatkan perorangan maupun lembaga. Terkadang klien dalam posisi tidak bersalah, tapi dipojokkan serta tidak cukup mampu menerangkan situasinya. Tetapi dapat juga memang klien melakukan kesalahan, bisa kecil ataupun besar, bahkan fatal!

Nah, pertanyaan yang sering (beberapa kali lebih tepat sepertinya) bergaung; apakah meminta maaf merupakan tanda kelemahan? Apakah meminta maaf akan merendahkan derajat seseorang?

Benar sekali. Ada dua proses yang dilewati dalam permintaan maaf, yaitu mengakui kesalahan dan menyampaikan kata-kata maaf. Berat sekali. Mengakui kelemahan dan meminta maaf adalah tindakan yang dapat dipandang merendahkan diri dan derajat seseorang. Tidak heran bila orang yang berpangkat, terpandang, lebih tua, dan lebih-lebih lainnya pasti berat untuk meminta maaf.

Pada 28 Agustus 2020, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyampaikan permintaan maaf kepada Masyarakat Jepang dengan membungkuk dalam-dalam. Alasannya? Dia punya sakit yang membuatnya tidak bisa bekerja dengan baik dan mengundurkan diri.

Presiden Amerika Serikat Richard Nixon terjerat skandal Watergate yang memaksanya mundur di tahun 1973. Namun demikian ia tidak menyampaikan permintaan maaf di pidato pengunduran dirinya. Baru dalam wawancaranya dengan David Frost tahun 1977, ia membungkus permintaan maaf itu dalam kata-kata: I brought myself down. I have impeached myself, by resigning.

Thompson dkk menulis di jurnal Psikologi tahun 2005 permintaan maaf dan tindakan memaafkan dapat melepaskan perasaan buruk terhadap sebagian atau seluruh kesalahan yang telah terjadi. Perasaan lega dan perbaikan emosi akan timbul di kedua belah pihak yang berselisih (sadar atau tidak) setelah proses maaf memaafkan.

Saya berharap dapat bertemu dengan si pemuda yang saya maki dan hujat setelah insiden tabrakan bertahun lalu itu serta mengucapkan kata maafkan saya. I mean it.

Atas nama Ira Koesno Communication: mohon maaf lahir dan batin. Selamat Lebaran. Kosong-kosong ya.

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalSelebriti oh Selebriti