Bahasa Isyarat, Bahasa ‘Tarzan” dan Bahasa non-Verbal

Pria itu menunjukkan lengannya yang mengenakan jam tangan. Jari tangannya yang lain menunjukkan gerakan tertentu pada lengan dan jam yang dipakainya. Itulah hal yang terpampang di televisi sebagai bagian dari paparan salah seorang calon presiden saat Debat Calon Presiden di Pemilu 2024 beberapa waktu lalu. Sang pria menyatakan melalui gerakan tangannya jargon Perubahan yang diusungnya. Para pendukungnya memuji-muji hal itu sebagai penghargaan terhadap calon pemilih disabilitas terutama yang tuli. Di media sosial, utamanya X (Twitter) tindakan itu dinilai dapat menarik suara kaum disabilitas.  Sementara di pihak lain, yang tidak mendukung sang capres, menganggapnya sebagai hal yang biasa saja.

Saat televisi masih menayangkan Debat Capres dan jam menunjukkan pukul 10 malam lebih, sekelompok orang di gardu ronda di kampung saya masih berkerumun. Sarung melilit di badan-badan mereka sebagai penahan dinginnya angin malam. Di depan mereka terdapat gelas-gelas kopi setengah kosong, beberapa kotak rokok dengan beberapa puntung yang masih menyala di asbak. Mata mereka agak merah entah karena asap rokok atau kantuk yang menerpa, tetapi pandangan mereka terarah ke layar. Mulut mereka menggumamkan serangkaian kata yang tak terdengar dengan jelas. Namun terlihat jelas mereka mengomentari apa yang terlihat dan terucap di layar kaca.   

Tiba-tiba satu di antaranya, yang berambut gondrong, berdiri. Dengan setengah berteriak ia mengucapkan sesuatu sambil menekan perutnya. Ia melihat teman-temannya. Satu per satu.  Menunggu beberapa saat. Menggumam lagi sambil menunjuk-nunjuk perutnya. Saat tak ada yang menyambut sikap dan pernyataannya, sang pria mendengus dan sambil setengah berlari meninggalkan tempat itu. Tak seorang pun memedulikannya. Entah tidak sadar, entah tidak mengerti maksud sang pria gondrong, mereka tetap sibuk dengan aktivitas menonton televisi dan Debat Capres yang menuju akhir. Gardu ronda masih berisi suara-suara dari televisi dan mulut-mulut para penontonnya sambil berhiaskan asap rokok yang mengebul baik dari hidung atau pun asbak.

Dua wanita muda dengan dandanan seronok duduk di sebuah café. Tubuh ramping mereka berbalutkan busana serupa, kaos dengan jaket kulit hitam dengan tulisan Pokemon di punggung. Rok mini dengan sepatu boot kulit bermerek Amerika yang terkenal karena tebal dan berat. Riasan di wajah tidak hanya lipstick merah maroon, tetapi juga lengkap dengan blush on, eyeliner, bulu mata dan shading yang kuat di hidung dan tulang pipi. Mereka tertawa cekikikan sambil sesekali menggerakkan kepala dan wajah ke arah tertentu.  

Di seberang meja mereka duduk seorang pria setengah baya. Bergaya dandy. Menghadapi segelas kopi susu dan sepiring burger yang baru dimakan separuh. Ia sadar tengah jadi bahan perbincangan sepasang wanita muda dengan sesekali tawa memancar dari mulut-mulut mungil mereka. Dalam beberapa kesempatan matanya bersirobok dengan mata kedua wanita muda itu. Ia tersenyum kecil, mengedipkan mata sambil sedikit mengangguk. Di seberangnya, tawa kedua gadis kembali pecah. Mereka menjadi lebih berani untuk memandang dan menggerakkan tubuh yang mengundang.

Manusia memiliki tuntutan untuk dimengerti, karena seseorang memiliki konsep tentang dirinya sendiri. Baik kekuatan, kelemahan, kemampuan atau batasannya. De Vito (2001) menyebutkan seseorang menyampaikan citranya kepada lingkungan dengan apa yang ia katakan, sikap atau perilaku yang ditunjukkan. Bahasa menjadi salah satu medium penting agar pihak lain memahami pesan yang disampaikan.

Dalam tiga contoh tulisan di awal, ada tiga bahasa yang dapat kita lihat karena konteks peristiwa tertentu.

Bahasa isyarat yang ditunjukkan oleh sang capres merupakan bahasa universal di kalangan saudara-saudara kita yang tuli. Dengan pelajaran tertentu, seseorang dapat mengerti bahasa ini. Sign Language merupakan Bahasa yang disepakati secara umum agar mereka yang mengalami kesulitan berbicara ataupun mendengar dapat mengunakan gerak tangan dan tubuh tertentu menjadi serangkaian makna yang dapat dipahami pihak lain. Rangkaian simbol tersebut bersifat baku dan tidak dapat diterjemahkan secara sepihak. Huruf, kata dan frasa tertentu sudah dimaknai dengan gerak-gerak tertentu pula, baik jari, tangan, maupun bagian tubuh lain.

Berbeda dengan Bahasa “Tarzan”. Istilah ini saya ingat sejak jaman kecil, ketika tokoh komik Tarzan berbicara dengan hewan penghuni hutan belantara dengan bahasa yang tidak dimengerti. Saat seseorang tidak mengerti Bahasa di satu koteks waktu dan tempat, maka ia menggunakan berbagai cara, terutama anggota tubuhnya dan suara-suara untuk memastikan pihak lain memahami maksudnya. Ketika Bahasa Tarzan muncul, nilai keberhasilannya setengah-setengah, fifty-fifty. Apalagi bila kedua belah pihak diselimuti emosi saat berkomunikasi, sangat besar kemungkinan kegagalan komunikasi ala Tarzan tersebut.

Orang yang berada di gardu ronda kesulitan menyampaikan maksudnya. Selain perhatian teman-temannya tidak mengarah padanya, ia pun tidak dapat menjelaskan maksudnya menunjuk perutnya. Apakah ia lapar? Sakit? Atau mau buang angin? Teman-temannya pun masa bodoh. Acara Debat Capres lebih penting dari sekedar memahami perut sang teman gondrong itu.

Beberapa waktu lalu dalam kunjungan ke sebuah restoran di Hong Kong, saya kelaparan. Di menu terdapat foto mie dan kangkung beserta tulisan beraksara Tionghoa membuat  saya hanya bisa menunjuk makanan tersebut, karena sang pelayan resto pun tidak bisa bahasa selain Mandarin. Bahasa Tarzan akhirnya keluar. Tunjuk-tunjuk, aa uu oo. Terjemahan Google dari telepon genggam tidak bisa menolong, karena paket roaming saya bermasalah dan tidak bisa minta password wifi resto, lagi-lagi karena masalah bahasa itu.

Bahasa Tarzan tidak punya aturan baku. Setiap orang bebas mengartikan apa yang dimaui. Akibatnya perlu waktu lama, jika tidak bisa dibilang banyak gagalnya, untuk bisa memahami maknanya.

Bahasa nonverbal bisa dibilang terletak di antara Bahasa Isyarat Sign Language dan Bahasa Tarzan. Manusia akan lebih mudah mengartikan tertawa dan senyuman sebagai Bahasa yang menyenangkan. Apalagi bila disambut dengan genggaman tangan atau pelukan yang erat. Kita pun akan dapat mengerti bila seseorang melotot dengan tangan terlipat di dada atau bertolak pinggang sebagai bentuk penolakan atau kemarahan. Bahasa tubuh yang besifat hampir universal. Kendatipun begitu tingkat ketidaksepahaman masih bisa muncul, karena konteks kultur yang membatasi kelompok-kelompok masyarakat.

Nah kalau sudah begitu, salah satu komponen penting dalam berkomunikasi menggunakan tiga jenis bahasa itu adalah kehati-hatian dan menahan diri. Apalagi Bahasa Tarzan dan Bahasa nonverbal.  Awas ge er.

Ketika seorang lawan jenis memainkan mata, mengedip-kedipkan mata, jangan buru-buru mengartikan bahwa ia sedang tertarik pada Anda. Jangan buru-buru mengirimkan sinyal-sinyal balasan yang ekstrim. Siapa tahu dia cuma sedang kelilipan.

 

Jakarta, 22 Feb 2024  

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalMaafkan Saya, Maafkan Kami