Kata-kata Makian atau Gurauan, Siapa Penentunya, Apa Akibatnya?

B*****an, ***ol, i***t. Wuiihhh. Kata-kata itu sontak jadi perbincangan. Seseorang atau beberapa orang yang mengaku akademisi dan dilindungi hak bersuaranya menyerukan itu secara verbal maupun tulisan. Bagi sekelompok orang kata-kata itu mungkin adalah hal biasa, apalagi dalam obrolan sehari-hari. Berbeda halnya bila ada pihak lain yang merasa terlibat dalam arti percakapan itu dan menilainya sebagai hal yang jauh dari kesopanan, adat ketimuran, tidak etis dan menyakitkan hati.

Saya tidak mau masuk pada perdebatan tentang pembicara dan penggugat kata-kata “dahsyat” di atas. Selain tidak punya kepentingan, saya juga tidak cukup waktu untuk menyelami konteks kedua belah pihak. Ya, komunikasi tidak boleh mengabaikan konteks. Apalagi jika informasi yang tersedia hanya sepotong-sepotong. 

Terus mau apa saya dengan tulisan ini?

Begini...

Walau lahir di Surabaya ber-dekade lalu, saya besar di Jakarta dengan berbahasa Indonesia dan Betawi (lu gue) hingga lulus SMA. Namun kebiasaan mendengar kedua orang tua yang asal Banyuwangi dan Kediri berbicara sehari-hari di rumah menyebabkan saya ikut terpapar Bahasa Jawa. Sehingga ketika meneruskan pendidikan tinggi di Surabaya, dengan mudah saya menggunakannya.

Ingatkah Anda akan satu kata yang sangat populer di kalangan orang Surabaya? Ya...itu...Gimana ya menuliskannya. Hmmmm...(tau kan? Tau laahh). Enam huruf. Ada yang menyebutkan dengan huruf awal d, tetapi ada pula dengan huruf j. Beberapa pakai huruf o di suku kata kedua, dan ada yang pakai u. Bebas.

Bersama teman-teman seangkatan, kami terbiasa menggunakan “kata” tersebut. Saya kok jadi teringat film layar lebar Yo Wis Ben yang dibintangi Joshua Suherman “Diobok-obok”. Saat berdiskusi, nongkrong atau bertemu teman jalan, kata itu bisa keluar dengan mudahnya.  Sambil bermotor (tanpa helm), kita bisa menyapa teman:

“*****k, nang endi kon? Kok mlaku dewe?” (kemana lo? Kok jalan sendirian?).

“Biasa **k, nang kosan ojob sek”.  (ke tempat kos pacar dulu).

Kata tersebut memberi tanda adanya ikatan persahabatan, kedekatan dan kerelaan pihak lain untuk menanggapinya secara positif. Walau kadangkala kata itu berusaha “dikurangi” kadar “kengerian”nya dengan memlesetkannya menjadi “jangkrik atau jambu”. Plesetan itu bisa apa saja, asal mirip dan pilihannya tergantung siapa saja yang merasa perlu melakukannya.

Semisal: “Jangkrik, aku nggak lulus rek, padahal wis melekan sinau”. (sudah belajar hingga  tidak tidur tetap tidak lulus). Ini yang sering saya alami jika lupa menyiapkan diri ujian dan menggunakan SKS alias Sistem Kebut Semalam.

Atau: “Jambu, aku dikongkon nraktir kowe maneh”. (Aku disuruh menraktir kamu lagi). Ini tandanya merengut dapat teman yang bokek alias kere.

Kalimat-kalimat percakapan di atas menunjukkan situasi riang, santai, tanpa emosi negatif. Penggunaan kata “yang itu” tidak menimbulkan konflik dan berlalu begitu saja. Beda halnya dengan pengalaman saya berikut ini.

Menjelang masa kampanye Pemilihan Presiden tahun 2019, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang semua stasiun televisi untuk membicarakan persiapan debat kandidat. Undangan pukul 19, yang berarti jalanan di sekitaran Menteng dan Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat akan padat dengan kendaraan.

Tidak ingin bermasalah dengan perut lapar, saya bersama seorang teman sepakat berangkat lebih cepat untuk makan di sekitar Menteng sambil menghindari kemacetan. Benar sekali. Setelah parkir di halaman KPU, hujan gerimis turun. Dengan gagah berani kami berjalan menuju Taman Menteng yang berjarak sekitar 300 meter. Bersaing dengan motor, mobil, bus kota serta pejalan kaki lain, kami berjalan di bawah tetesan hujan rintik-rintik. Selain mewaspadai pergerakan kendaraan, kami juga harus menghindari genangan air yang terbentuk. Berjalan zig zag, melompat, dan berkelit.

Sayang sekali, pada satu titik saya harus mengalami situasi yang tidak menyenangkan. Berjalan di pedestrian sambil menghindari air yang menggenang, dari arah belakang sebuah motor melintas. Tanpa mengurangi kecepatan, motor itu menjejak air dan menyebabkan air terciprat membasahi celana. Spontan saya berteriak: JAN***!!!

You know what, sang pengendara motor seketika berhenti, menoleh pada saya dan meminta maaf. Entah sadar karena kesalahannya, entah karena takut mendengar teriakan saya, entah pula mengerti arti kata tersebut. Faktanya ia tidak meninggalkan kami, walau lalu lintas sedang relatif mudah dilalui. Ada apa dengan kata itu?

Saya teringat cuplikan lirik lagu Words ciptaan The Bee Gess yang juga dinyanyikan Boyband Boyzone.

You think that I don’t even mean

A single word I say

It’s only words and words are all I have

To take your heart away

Kata-kata bagi sebagian orang bisa saja tidak bermakna, terutama dalam percakapan harian antar teman atau perbincangan santai. Namun bagi si bijak, kata-kata adalah ungkapan hati yang dapat mengubah hati seseorang. Ketika sebuah percakapan melibatkan sekelompok orang yang beragam, tidak salah kita mengontrol kata-kata yang terucap. Sekali kata (-kata) keluar dari mulut kita, maka kita harus siap dengan situasi apapun yang ditimbulkannya. Good or bad.

Sebuah pepatah Cina menyebutkan:

一言既出,驷马难

Yī yán jìchū, sìmǎ nán zhuī

“Kata-kata yang sudah diucapkan tidak dapat ditarik kembali, bahkan empat ekor kudapun tidak mampu mengejarnya”.

Sementara kita sendiri memiliki peribahasa: Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna.

Jakarta, 11 Agustus 2023

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalBahasa, Komunikasi dan Adab