GRATIS: Benar-Benar Gratis atau Gratis-Gratisan

Disclaimer: Tulisan ini tidak ada hubungannya dengan program-program gratis yang bersliweran di negeri ini. Yang pasti Point of View (POV) ini tidak ingin diasosiasikan dengan pandangan atau kelompok tertentu, kecuali dan hanya untuk berbagi pandangan yang sesuai dengan aktivitas bisnis IKComm. Murni membicarakan ke-gratis-an dalam kehidupan sosial dan berkomunikasi.

Ting! Whatsapp saya menunjukkan adanya pesan yang masuk. Seorang teman yang telah sangat lama, hitungan tahun, tidak berkomunikasi menyapa. Pesan itu berbahasa Jawa. Pastilah pengirim pesan adalah orang yang berasal dari Timur Pulau Jawa, melihat gaya bahasanya. Selalu bergetar hati ini jika ada yang berbau kawasan ini menyentuh saya.

“Bro, yok opo kabarmu? Iki … (satu nama). Semoga gak lali”. (artinya: Bro, bagaimana kabarmu? Ini… Semoga tidak lupa). Demikian tulis pesan itu. Kalimat yang kalau diucapkan pasti terasa renyah dan menyenangkan. Maklum sudah lama tak mendengar gaya bicara Suroboyoan seperti itu.

Nama itu memang berasal dari masa lalu. Tidak cukup dekat, tetapi kami sempat beberapa kali bertukar kata di pekerjaan lama. Tanpa ragu, saya pun menjawab dan kami terlibat pertukaran pesan beberapa saat. Perbincangan tertulis itu diakhiri dengan janji temu makan siang, for the sake of old time friendship. Saya akan ditraktir. Asyiikk. Gratis!

Singkat cerita pertemuan terjadi. Makan enak di sebuah resto di sekitar Jakarta Selatan, disertai perbincangan masa lalu, walau sudah samar-samar di benak. Hanya saja, ini nih, di penghujung perbincangan, sang teman mengajak ikut asuransinya. Berat! Mau langsung ditolak, tentu tidak enak dengan traktirannya. Sudah pasti saya tidak butuh asuransi, karena alasan-alasan tertentu. Berbekal janji akan mempertimbangkan tawaran itu dan dengan alasan harus segera meeting di kantor, saya pun menghentikan temu janji makan siang yang (jadi) kurang memuaskan.

There is no such thing as a free lunch… Tidak ada makan siang gratis, kata-kata popular Milton Friedman, ekonom penerima Nobel tahun 1976 dan tokoh pasar bebas. Ekonomi modern menurutnya harus selalu memperhitungkan biaya, walau tidak selalu terlihat langsung. Dibalik sebuah kesepakatan yang seolah indah, tanpa syarat dan ketentuan, biasanya memiliki suatu ikatan. Dalam bentuk tertentu atau dalam jangka panjang, “tagihan” akan datang.  

Dalam banyak kesempatan, saya melihat relasi dalam bentuk apapun memperhitungkan sesuatu. What is in it for me (WIIFM)? Apakah menguntungkan buat saya? Mulai dari skala yang paling kecil, bisa dibilang nol yang terlihat pada persahabatan sejati, hingga yang eksploitatif. Saya mengesampingkan perbincangan tentang persahabatan sejati, yang tidak memperhitungkan WIIFM, tetapi mengarah pada penggunaan istilah ini dalam hubungan komunikasi secara luas terutama ketika membangun pesan untuk publik.

Meyakinkan klien, bahwa IKComm adalah tim terbaik sebagai pendamping dalam berbagai aktivitas kehumasan tentu suatu keharusan yang terkadang cukup menantang! Apa untungnya buat saya dengan melibatkan IKComm? Sebuah pertanyaan yang saya yakin berputar-putar di benak para pengambil keputusan yang memerlukan konsultan kehumasan dan media. Memperhitungkan biaya adalah satu hal, tetapi meyakinkan diri akan kompetensi IKComm dalam menangani pesan-pesan publik tentu perlu pendalaman. Apalagi diharapkan bisa mengatasi krisis reputasi.

Suatu lembaga haruslah mendapat keuntungan jika bekerjasama dengan perusahaan. Harold Swanson (1975) mengingatkan para pendidik, peneliti dan komunikator harus peduli pada penerima pesan. Berbeda halnya dengan propagandis atau operator propaganda, yang memberikan pesan demi tujuan dan kepentingan sendiri.

Dengan mengesampingkan lokasi, cara, dan waktu serta hal-hal pendukung lainnya, berkomunikasi tentu hal yang gratis. Pertukaran pesan dan makna tidak memerlukan pertukaran biaya. Hanya saja, kedua belah pihak-penerima dan pemberi pesan-memiliki alasan serta tujuan untuk menindaklanjuti hasil pertukaran pesan. Kemampuan untuk mendefinisikan dan mengungkapkan ‘what’s in it for me’ pada argumentasi yang dibangun pemberi pesan menjadi pembeda antara komunikator yang baik dan tidak.

Swanson menambahkan, komunikator yang baik mengerti psikologi pendengarnya. Ia harus segera mengetahui, memahami, dan menghubungkan pesan-pesannya dengan kebutuhan lawan bicara sesegara mungkin. Jika tidak, kata Swanson, we lose them in our communications battle for attention. Jangan harap kita akan dapat perhatian mereka.

Bagi saya, mendalami pesan WIIFM Swanson berarti melihat paradigma baru dalam berteman. Ada dua hal penting, semoga Anda sepakat. Pertama; jika mau berteman dan mentraktir teman tersebut, pastikan motivasi pertemanan yang genuine. Asli. Bukan ada udang di balik batu. Kejujuran dalam berteman memastikan kelanggengan pertemanan itu sendiri tulis John Wooden dalam bukunya Pyramid of Success (2009). Yang kedua; sampaikan pesan Anda dengan kata yang tepat, gaya yang tepat, waktu yang tepat sesuai dengan kondisi lawan bicara. Pastikan ia mendapatkan pesan WIIFM agar komunikasi itu lancar. Begitu kedua belah pihak saling menemukan “keuntungan” dari pembicaraan itu, hal gratis akan meluncur dengan sendirinya. Saya yakini itu.  

Selamat berteman dan berkomunikasi.

 

Jakarta, 30 November 2025

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi