Kala KEMARAHAN Jadi Bahasa Tersendiri

Bisakah Anda menjaga emosi sepanjang hari? Saya tidak. Dengan berbagai tantangan hidup di kota besar seperti Jakarta, emosi seseorang tampaknya mudah tersulut. Jalan raya, bisa jadi salah satu penampungan emosi banyak orang. Ketika setiap orang merasa benar berkendara, kemudian disalip orang lain dengan cara yang dinilai arogan, maka kemarahan itu bisa meletup. Dalam berbagai bentuk. Mulai dari hanya geleng-geleng, memaki, hingga pepet-pepetan.

Bentuk kemarahan lainnya adalah berupa tulisan. Media sosial menjadi kanal penampung berbagai sikap perilaku dan ucapan manusia, termasuk marah-marah. Anda bisa sangat mudah menemukan pelampiasan emosi seseorang di Instagram, TikTok, Facebook atau X (dulu Twitter). Pencetusnya mulai dari hal, yang menurut saya remeh temeh, salah membaca pesan WhatsApp hingga urusan berat seperti diselingkuhi pasangan.

Pada akhirnya timbul pemikiran, apakah masyarakat sekarang makin mudah terbakar emosinya. Apalagi kalau kita mengingat peristiwa 28 Agustus 2025 di Jakarta dan sejumlah kota besar lainnya. Kemarahan itu mulanya terasa di media sosial, di media, kemudian ke percakapan sehari-hari, serta akhirnya di jalan-jalan! Banyak bangunan fasilitas publik dan pribadi menjadi sasaran amuk massa, terencana ataupun tidak. Beberapa nyawa manusia pun melayang…

Hampir 30 tahun lalu kejadian serupa, dengan skala yang lebih luas terjadi. Publik menumpahkan kemarahan mereka dalam berbagai bentuk. Hingga akhirnya timbul era reformasi.

Kemarahan adalah sesuatu.

Kemarahan merupakan bentuk ungkapan atas emosi tidak nyaman yang meluap-luap (Palma, 1996). Ketika seseorang tidak dapat lagi menampung emosinya atas situasi yang memicu rasa tidak nyaman itu, amarah menjadi salah satu efek yang ditimbulkan. Bentuk lainnya adalah tangisan atau diam. Estrem (20025) dan Potapova & Gordeev (2015) mengingatkan, orang-orang yang mengontrol kemarahan mereka dengan tidak berusaha mengungkapkan atau mencari solusinya, siap-siap untuk mengalami banyak persoalan kesehatan. Sakit kepala, sakit maag dan depresi adalah beberapa gejala yang umum terlihat.

Iseng-iseng, saya membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia online untuk mencari padanan kata marah. Ternyata ada 27 kata sinonim untuk kata itu, walau penggunaannya relatif perlu melihat konteks situasi, diantaranya adalah: geram, murka, sewot, garang, meradang, berang, dan seterusnya.

Sedangkan marah atau “anger” dalam Bahasa Inggris dengan konsep yang serupa (Rustamovna, 2008) memiliki sinonim sebanyak 28 leksem lema). Diantaranya: rage, fury, wrath, ire, indignation, dislike, hate, hatred, animosity, odium, detestation, abhorrence, loathing, temper, dan seterusnya.

Berbeda lagi dengan blog Mark Nichol @daily writing tips. Ia menuliskan ada sebanyak 75 kondisi marah dan penyebab-penyebabnya. Contohnya “ranting” atau marah tanpa alasan, “outraged” atau marah karena ada pelanggaran atau “livid” yang berarti sangat marah hingga tidak dapat mengendalikan diri.  

Dengan kemajuan teknologi, seseorang dapat menumpahkan kemarahannya secara tidak langsung menggunakan media sosial. Jari jemari seseorang yang dalam kondisi naik darah dapat menumpahkan perasaannya secara instan. Dan, dengan segera pula hal itu dapat diakses setiap orang di berbagai belahan dunia. Efeknya? Bisa panjang kali lebar kali tinggi, alias bermacam-macam. Ketika ada seseorang yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh unggahan kemarahan itu, ia bisa menggunakan Undang Undang Informasi Transaksi Elektronika (UU ITE) untuk memperkarakannya.

Hmmmpfff, anj***! (Bahasa Kemarahan atau Persahabatan?)

Pada saat yang sama istilah tertentu yang biasanya dilekatkan dengan kata makian menjadi berubah makna. Kata anjing, yang berarti hewan yang biasa dijadikan peliharaan, pada satu masa identik dengan kata makian. “Anjing, lu!”. Kata ekspresif untuk menunjukkan kemarahan pada satu pihak yang tidak disukai.

Namun ternyata kini kata itu itu digunakan pula untuk sapaan antar teman. Kemudian hal tersebut dilunakkan di kalangan suku tertentu menjadi “anying”, “anjay” atau “anjrit”. 

Yang luar biasa, yang membuat saya merasa tambah tua 20 tahun adalah penggunaan kata anjing hampir di setiap ujung kalimat percakapan di antara anak-anak muda. Entah maknanya sebagai bentuk keakraban atau justru pengganti kata yang tak bermakna seperti dong atau deh, atau euy dalam Bahasa Sunda. Contohnya: “Gitu aja nggak bisa, anjing”. Atau: “Sini, gua bantuin, anjing”.

I am old. Very old, instantly. Anj***.

Saya bayangkan orang tua saya akan marah besar jika mendengar kata itu. Geram, berang! Mungkin saya akan dikunci di kamar mandi sebagai hukumannya jika mengucapkan kata itu di hadapannya. Hmmm. Kasihan anjing saya di rumah yang tidak mengerti apa-apa...

Jakarta, 25 September 2025

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi