Ghosting dan Komunikasi

Dua pesan sudah saya kirimkan kepada seorang rekan melalui WhatsApp. Kami seharusnya mendiskusikan usulan strategi komunikasi untuk sebuah kegiatan berskala nasional oleh sebuah BUMN.

Sejam. Dua jam. Seharian. Tak ada balasan. Waduhhh, sepertinya saya kena ghosting.

Sekitar pertengahan tahun lalu kata ghosting sangat ngetop di kalangan warganet dan media online, karena seorang muda anak petinggi negeri ini disebut-sebut menghindari komunikasi dengan wanita yang dinyatakan menjadi pacar, bahkan akan dinikahi.

Perbincangan tentang aksi ghosting itu relatif seru dan berlangsung berhari-hari bahkan lebih dari tiga bulan. Tidak ada nilai berita, tetapi lebih karena banyak orang (pembaca media dan warganet) yang gemar bergosip. Makin digosok, makin sip.

Coba ah cari arti kata ghosting (maklum, saya kayaknya juga sedang jadi korban ghosting nih. Kayak si “wanita” itu tuh). Menurut kamus Merriam-Webster ada dua definisi ghosting; pertama adalah gambar tak jelas pada layar televisi atau layar apapun. Yang kedua disebut sebagai arti informal yaitu tindakan seketika berupa pemutusan kontak (melalui telepon, pesan dll) dengan seseorang (biasanya hubungan romantis) tanpa kejelasan apapun. defines yang kedua menunjukkan bahwa ghosting tidak bisa pelan-pelan. Tiba-tiba. Seketika. Mak jlek istilah di kampung saya.

Trus, pelajaran apa yang bisa ambil dari aksi ghosting-meng-ghosting ini?

Ketika dua pihak atau lebih berkomunikasi, salah satu harapan yang tercipta adalah pengertian yang sama atau sebuah pengertian atau lebih. Selanjutnya, saat pengertian itu disepakati lebih dalam, maka terbangunlah sebuah hubungan berlandaskan saling menghargai dan menghormati baik verbal maupun nonverbal.

Jika sebuah hubungan baik telah terbentuk, pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan itu hampir dapat dipastikan memiliki ekspektasi tinggi untuk tercapainya satu tujuan tertentu. Nah, repotnya saat sudah di level tersebut dan ada salah satu pihak tidak puas karena satu dan lain hal, tetapi tidak mau membuka diskusi, bisa jadi ghosting yang terjadi.

Di satu sisi ghosting efektif bagi seseorang untuk menyelesaikan hubungan tanpa susah-susah membuat klarifikasi. Saat meng-ghosting, semua jalur komunikasi diputus dengan mudah. Abaikan telepon. Cuekin pesan WA dan media sosial. Kalau perlu block saja. Jika ada colekan dari pihak lain yang jadi perantara, anggap sebagai angin lalu. Gampang toh?

Di sisi lain, bagi yang mengalami ghosting timbul pertanyaan yang tak terjawab. Kenapa? Kenapa tak bisa dihubungi, kenapa menghilang, ada apa, apa salah saya sehingga tak bisa menghubungi, dsb? Telepon, pesan singkat, media sosial, kontak fisik raib atau tak berbalas. Kalau mau tanya kenapa menghilang, tanya kemana lha wong sudah raib jadi ghost alias hantu? Pakai jalur alternatif juga tak tembus. Pakai jalur supranatural apa lagi, nggak bisa dipercaya, hahaha.

Meng-ghosting menimbulkan efek yang tidak kecil, baik bagi pelaku maupun korban. Bagi peng-ghosting, cara menghilang yang begitu mudah dari sebuah hubungan tertentu bisa membentuk kebiasaan memandang remeh arti komunikasi. Situs Psychology Today menulis ghosting menghancurkan keintiman dan menghambat kedewasaan kejiwaan pelakunya. Sedangkan korban ghosting dapat mengalami perasaan rendah diri, gelisah bahkan depresi.

Nah, kayaknya saya dan IKComm sudah jadi korban ghosting nih. Rencana usulan strategi komunikasi pun gagal. Pertemanan pun terganggu. Eh kalau ia menganggap saya teman, kalau Nggak? Ge er banget saya ya?

Ya sudahlah. Saya tidak mau larut dan tenggelam dalam depresi karena urusan ghosting. Yang lebih penting, saya berjanji untuk tidak mau meng-ghosting orang. Sebuah peribahasa yang sangat bijak mengingatkan kita semua: Jangan lakukan hal-hal yang kamu tidak ingin kamu alami, pada orang lain. Jangan ghosting orang lain, kalau kamu tidak ingin di-ghosting.

Ehh, saya jadi teringat bait dan nada lagu dangdut Mbak Cita Citata:

Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku
Sakitnya tuh di sini melihat kau selingkuh
Sakitnya tuh di sini pas kena hatiku
Sakitnya tuh di sini kau menduakan aku
Aseekkk. Tariiikk mang.

Jakarta, 24 Agustus 2022.
Indiarto Priadi

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalMaking Hope Again Renungan Hari Kemerdekaan RI ke-77