Nahhh!!! Apa Kata Orang

Siapa tahu Anda ingat kisah berikut. Kalau belum, semoga ini kisah yang dapat membawa pesan baik.

Alkisah ada seorang petani dan anaknya yang masih remaja memiliki seekor kuda dan hendak dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sang petani sangat mengasihi anaknya, sehingga ia memerintahkan anaknya menunggangi si kuda. Ia sendiri berjalan di samping sambil menuntun sang kuda. Di tengah cuaca panas, sang petani kemudian menjadi kelelahan karena tubuhnya tidak semuda dulu. Orang-orang yang berpapasan dengan mereka menggugat tindakan sang anak, karena dianggap kejam dengan membuat orang tuanya berjalan dan tersiksa. Si anak malu. Dengan serta merta ia melompat turun dan mendorong ayahnya ke punggung kuda menggantikannya. Setelah beberapa lama, terik matahari ganti mendera sang anak. Dengan gontai ia melangkah di samping kuda dan ayahnya. Lagi-lagi, ada orang berkomentar. Mereka mengasihani sang anak dan menyebut si orang tua tidak berperikemanusiaan pada anaknya. Si ayah pun tidak enak. Ia segera menarik sang anak agar duduk bersama di atas punggung kuda. Lagi-lagi, setelah beberapa saat, keduanya dikecam orang, karena dinilai kejam dengan memaksa si kuda berjalan di terik matahari sementara ada dua manusia di punggungnya.

Cerita itu saya hentikan sampai di situ.

Moral story dongeng tersebut mengusik saya. Dalam banyak kesempatan situasi serupa sering ditemui. Betapa komentar publik (kata orang) menjadi hal penting dalam pengambilan keputusan. Tidak hanya perorangan, tetapi juga keputusan kelompok, grup usaha termasuk sebuah negara bisa berubah 180 derajat gara-gara komentar “publik”.

Mendengar kata orang menjadi sebuah seni tersendiri untuk mengambil keputusan.

Dalam satu kesempatan, satu klien IKComm terguncang oleh satu judul pemberitaan sebuah koran lokal. Kata-katanya bombastis. Foto perusahaan berukuran besar terpampang di halaman pertama. Headline! Isinya? Hmmm, sebagai mantan jurnalis, saya tidak respek sama sekali. Terlepas dari tujuannya yang hendak mewakili orang susah, data pemberitaan media tersebut menurut saya sumir. Nama sumber berupa inisial, tanpa kejelasan waktu, lokasi dan kronologi. Hak jawab pun terasa dipaksakan sekedar memenuhi tanggung jawab; bunyinya, saat dimintai komentar nomor instansi tersebut tidak bisa dihubungi. Pertanyaannya, Apakah yang harus kami lakukan? Memang ‘hanya’ koran lokal. Hanya saja dengan teknologi informasi yang seperti sekarang, yang disebut lokal menjadi tidak lagi lokal saat ia memiliki akun media sosial. Tanpa batas lagi.  Apakah mendiamkan dan menganggapnya angin lalu atau meminta klarifikasi kepada media yang bersangkutan. Pada level yang lebiih berat, misalkan media nasional dan dinilai mencemarkan nama baik, mengajukan protes ke dewan pers adalah sebuah pertimbangan.

Linda Ashar dalam tulisannya Social Media Impact: How Social Media Sites Affect Society

di Blog American Public University (2024) menyebutkan perbincangan tentang satu topik bisa terjadi di kedai,lewat korespondensi, media massa hingga media sosial memiliki tujuan untuk mempengaruhi masyarakat (social exchange). Pada kondisi ini setiap pihak di dalam masyarakat mengalami efek yang berbeda; besar kecilnya tergantung pada tingkat keterlibatannya. Hanya saja seiring dengan peningkatan ketergantungan publik pada media sosial, publikasi, postingan atau komen (komentar) menjadi matter alias sesuatu banget.

 

Suara publik harus didengar

Di sisi lain, mendengar saja belum cukup. Dalam konteks perbaikan reputasi dan citra, kita harus mendengarkan. Mendengar dan mendengarkan ternyata memiliki makna berbeda. Jeremy seorang CEO perusahaan Public Relations uSERP dan penulis website Seven Atoms (2024) menyebutkan pengelola bisnis (termasuk perorangan, lembaga nirlaba atau bahkan pengelola negara) harus mendengarkan suara-suara di tengah masyarakat. Mendengar (identik dengan memantau, dalam hal ini pantauan media dan media sosial) dinilainya tidak cukup, karena itu merupakan tindakan reaktif. Pemantauan sosial hanya berfokus pada penyebutan langsung nama atau merek, pelayanan, dan reputasi. That’s it. Berbeda halnya dengan mendengarkan media sosial atau social listening yang bersifat proaktif. Yaitu sebuah upaya untuk mendalami alasan publik bersuara tertentu, memahami gambaran besar, dan kecenderungan termasuk mengidentifikasi ancaman dari pesaing dan peluang untuk menjadi lebih baik. Dengan tingkat keluasan sebesar itu, pengambil keputusan tidak hanya mengambil langkah mitigasi sebuah masalah gangguan reputasi sesaat, tetapi lebih jauh lagi. Bagaimana membuat strategi sekian langkah ke depan.

Memang si petani, anak dan kudanya di kisah terdahulu yang sudah pasti tidak hidup di zaman media sosial, hanya mendengar kata orang. Tidak berusaha mendalami alasan dan tujuan komentar-komentar itu. Namun dengan perilaku yang ditunjukkan, betapa kata orang menjadi sesuatu banget, ya kan?

Saya pun menjadi teringat dengan bendera One Piece yang berkibar baik di sejumlah kendaraan di jalan raya maupun di media sosial menjelang Agustusan 2025. Banyak komentar bertebaran. Dari yang biasa-biasa saja sampai yang luar biasa, terutama dari mereka yang entitled. Apakah para pimpinan negeri ini menggunakan kata mendengar atau mendengarkan saat menyimpulkan sesuatu atau melabel citra tertentu dari perilaku itu?

Welp…

 

Jakarta, 31 Juli 2025

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalWOME: Ambassador Perusahaan