Ngomong, Dong!

Jakarta dan Tangsel (Sepertinya Depok dan Bekasi juga) mulai sepi. Memang hal ini pasti terjadi setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri. Namun tahun ini, 2025, tetap saja terasa ada yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Hampir seminggu sebelum sidang isbat (penentuan tanggal 1 Syawal) Kementerian Agama RI, banyak orang mulai mengalir meninggalkan ibu kota. Wacana dan pelaksanaan work from anywhere alias WFA bagi aparat sipil negara (ASN) tahun ini menjadi pembeda. Pemerintah berharap arus mudik tahun ini lebih lancar, karena warga kota-kota besar memiliki pilihan hari yang relatif banyak untuk melakukan perjalanan. Menarik kan? Lalu bagaimana situasi arus mudik yang sebenarnya? Lancar atau tetap macet? Itu soal lain. Setidaknya, Bapak Ibu para pejabat negeri ini memang berusaha mengatasi masalah tahunan dengan berpijak pada pengalaman, data, dan pasti masukan banyak pihak.

Pak Polisi, seperti yang terlihat di layar televisi, media sosial atau pantauan arus mudik di radio serta media baca, tampak beitu aktif mengomunikasikan perubahan jalur, pelaksanaan one way di jalan tol. Dengan demikian masyarakat pelaku mudik memperoleh asupan informasi yang cukup yang membantu mereka mengambil keputusan tertentu.

James Garnet (1989) menyatakan komunikasi pemerintah kepada masyarakat memerlukan perhatian agar masyarakat memahami apa yang dilakukan sekaligus pemerintah dapat mempelajari apa yang orang banyak harpakan. Arus mudik dan arus balik tahunan yang sudah menjadi kebutuhan jutaan penduduk Indonesia menjadi kanvas besar bagaimana pejabat publik berkreasi menciptakan karya masterpiece. Perjalanan (ritual?) tahunan yang nyaman, lancar dan aman.

Namun urusan komunikasi saat arus mudik adalah satu hal. Hal lain adalah bagaimana kata komunikasi terlihat mudah diucapkan, tetapi sulit diterapkan. Garnet mengingatkan betapa pentingnya internal pemerintah untuk saling memberi perhatian terhadap sebuath kebijakan sebelum menjalankannya. Meraka harus saling memahami apa yang dipikirkan, disiapkan sebelum dilaksanakan, termasuk menyampaikan informasi itu kepada masyarakat. Pesan Garnet dalam bukunya Effective Communication in Government tiba-tiba relevan dengan pesan Presiden Prabowo di penghujung bulan Maret 2025 agar para pejabat memperbaiki komunikasi publik mereka. Tujuannya pastilah agar kebijakan pemerintah tersampaikan secara utuh dan jelas. Tentu peringatan itu ada sebabnya, sesuai dengan peribahasa tidak ada asap tanpa ada api. Tidak mak ujug ujug, mak bedhundhuk, atau out of the blue alias tiba-tiba.

Dalam banyak aktivitas pendampingan, baik di lembaga pemerintah, korporasi, BUMN atau bahkan perorangan, IKComm selalu meminta klien untuk membereskan internal sebelum menyampaikan pesan apapun kepada para stakeholder masing-masing. Tujuannya adalah kepastian adanya kesamaan persepsi internal tentang pokok tertentu, maka setap jajaran di bawahnya perlu memahami secara jelas maksud dan tujuannya untuk dapat dijabarkan secara tepat.

Prof. Dedi Mulyana, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran menyebutkan persepsi atau sudut pandang atas sesuatu hal dapat berbeda-beda sesuai dengan tangkapan inderanya, pengetahuannya dan wawasannya. Guna meminimalisir perbedaan persepsi itu proses penyampaian pesan di dalam rantai komunikasi harus sejelas-jelasnya. Mulai dari pucuk pimpinan (tanpa perkecualian) hingga bagian yang berhadapan langsung dengan stakeholder langsung (termasuk ke masyarakat).

Jika rantai komunikasi itu sangat panjang, kemudian masing-masing pihak memiliki perbedaan persepsi tetapi tidak mau membuka diri, dapat dipastikan pesan yang tiba di ujung rantai dapat menyimpang. Sedikit atau bahkan berubah sama sekali. Ini belum termasuk dengan pimpinan yang tidak jelas apa yang hendak dikomunikasikannya alias "heri" alias heboh sendiri. Bayangkan jika ada pimpinan seperti itu, maka bagian di bawahnya akan tidak tahu apa yang mesti dikomunikasikan.

IKComm selalu mengingatkan tentang hambatan dalam perjalanan penyampaian pesan. Salah satunya adalah keberadaan silo (sekat). Sadar atau tidak silo merupakabn salah satu bentuk egoisme seseorang atau kelompok yang merasa paling baik, paling penting, paling hebat dibandingkan baigan lain. Silo-silo tersebut akan membuat sebuah organisasi tidak mampu menghasilkan citra terbaik di permukaan, karena informasi positif tentang visi pimpinan dan hal-hal positif yang akan atau sudah dikerjakan tidak tersampaikan dengan baik.

Komunikasi mestinya sangat mudah. Ngomong dong. Gitu aja kok repot (meminjam ucapan Gus Dur). Nggak tahu lagi jika memang ada yang susah ngomong, malas ngomong atau memang disembunyikan. 

Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.

 

Jakarta, 28 Maret 2025.

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalBerisik