Debat, Terus apa?

Membaca beberapa berita di media online dan postingan medsos terutama di X (Twitter) akhir-akhir ini seperti membawa pikiran saya terbang bertahun-tahun lalu. Terutama bila itu berkaitan dengan masalah politik dan hukum.  Taruhlah yang “kekinian” tentang: penangkapan petinggi partai oleh KPK, korupsi jumbo di perusahaan pelat merah yang produknya dipakai publik, serta Danantara.

Jurnalis dan redaktur menghadirkan perbedaan pendapat dalam bingkai kebijakan redaksi masing-masing. Judul-judulnya pun dibuat semenarik mungkin. Pembaca (terutama saya) menyimpulkan media itu menjadi forum perdebatan secara tidak langsung. Sedangkan di medsos terutama di X, unggahan tentang agama, politik dan hukum tak sedikit yang menimbulkan komentar pro kontra. Apalagi bila si pengunggahnya adalah sebuah akun influencer dengan banyak pengikut dan terafiliasi pada satu kelompok. Hampir dapat dipastikan hal itu akan memicu perdebatan, yang bahkan tidak lagi substansial alias sekedar mengolok-olok posisi lawan bicara.

Nah berdekade lalu, perusahaan televisi tempat saya bekerja membuat program debat. Dua kelompok berbeda pendapat memperdebatkan satu topik terkini berdasarkan argumentasi yang sebebas-bebasnya. Dua host yang membawakan acara pun terpaksa memerankan pendukung masing-masing pihak. Substansi dan kebenaran argumentasi antara penting tidak penting. ramai, seru, rating adalah yang utama. That’s all that matters.

Debat, diskusi dan pebedaan pendapat adalah manusiawi yang telah muncul sejak manusia ada (University of the People, 2024). Sebagai makhluk tingkat tinggi yang memiliki cara pandang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan, maka seseorang bebas mempersepsikan satu hal. Ia pasti akan mempertahankan persepsinya itu dalam situasi-situasi  tertentu.  

Masalahnya, apakah penyampai argumen dalam debat atau diskusi atau unggahan di medsos memiliki pijakan yang solid. Data, fakta atau informasi yang kredibel.

Seorang penikmat kopi menyesap isi cangkirnya dengan nikmat. Sendirian. Di tangan kirinya terdapat ponsel dengan gambar dan tulisan. Matanya tajam memandang layer dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Tak sengaja saya memandang aktivitas pria tersebut. Tidak sopan memang, tapi entang mengapa saya tertarik untuk terus mengamatinya. Ia kemudian menelepon seseorang dan terlibat perbincangan yang intens. Beberapa lama perbincangan itu terjadi dengan diselingi intonasi tinggi dan kata-kata keras. Kemudian ia pun menutup panggilan tersebut. Pandangannya menerawang jauh. Tangannya terkepal dan nafasnya sedikit memburu. Kesimpulan saya saat itu, sang pria tidak berhasil menyepakati satu hal tertentu dengan lawan bicaranya.

Debat adalah tentang soal kalah dan menang, dalam artian apakah kedua belah pihak memiliki argumen kuat, terverifikasi dan kredibel (University of The People, 2024). Kita tidak bisa mengunci forum perdebatan hanya ada di warung kopi atau forum-forum informal lainnya. Debat juga dapat bersifat akademik yang melibatkan peneliti dengan pandangan terpolarisasi (Thomson, 2022). Pihak tertentu dinilai “menang” berdebat saat argumentasi yang dimunculkan tidak dapat dipatahkan oleh pihak lawan dengan ukuran-ukuran yang disepakati.

Di lain pihak, sadar atau tidak, perdebatan dapat menimbulkan ketegangan. Sabine Roeser menuliskan di majalah psikologi online psyche.co, peningkatan emosi dalam perdebatan terjadi saat seseorang bereaksi terhadap sebuah irasionalitas. Sikap emosional dalam sebuah perdebatan itu dapat diartikan sebagai kekhawatiran akan kelemahan argumentasinya atau ketakutan atas kekuatan argumentasi lawan. Itu artinya, pihak yang “kalah” harus menerima pandangan lawan. And it is sooo hard. Betul nggak?

Bayangkan: Ada seseorang dengan jabatan pemangku posisi penting menyampaikan sebuah pernyataan tentang hal tertentu yang menurutnya sesuai aturan main, tetapi dibantah pihak lain dengan klaim dan argumennya sendiri. Perdebatan akan sangat mungkin terjadi, karena kedua belah pihak harus mempertahankan posisi dengan sebaik-baiknya. Apalagi bila taruhannya adalah nama baik, jabatan atau bahkan konsekuensi hukum. Kalah debat itu berarti ada konsekuensinya.

Namun demikian, saya tidak mau masuk ke dalam lubang perdebatan kasus tertentu yang sedang ramai di jagad berita. Terutama tentang kasus hukum. Saya lebih suka membicarakan tentang berkomunikasi dan bereaksi dalam sebuah forum perdebatan.

Seperti halnya dalam komunikasi pada umumnya, perdebatan membutuhkan keterbukaan pikiran, pendengaran dan pengamatan mendalam. University of The People di Pasadena, AS memberi tips bagi kita (minimal saya), jika kita tidak siap dengan argumen yang baik, jangan berdebat. Diskusi lebih tepat. Perdebatan yang tidak seimbang (dalam penyampaian argumen) dapat menimbulkan perasaan inferior jika salah satu pihak tidak siap kalah. Diskusi merupakan jalan terbaik untuk saling mendengarkan dan memahami pandangan pihak lain, tanpa menimbulkan kemungkinan timbulnya luka batin akibat perbedaan pendapat. Everyone is the winner. New knowledge and understanding will emerge tulis website itu.

So, pilihan di tangan kita. Debat atau Diskusi. Saya sih memilih berdebat, walau kadangkala saya perlu menahan emosi lebih baik, tetapi saya siap kalah dan mendengar pihak lain. Berdebat bagi saya merupakan salah satu cara untuk mempertajam argumen setelah belajar dari banyak sumber. Bagaimana dengan Anda?

 

Jakarta, 27 Februari 2025

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalNgomong, Dong!