
Jalan-jalan, Makan-makan, Jajan-jajan
Sebuah portal berita akhir Januari 2025 menurunkan artikel berisi pernyataan Prof Rhenald Kasali yang bikin kepala saya mengangguk sekaligus menggeleng. Tidak hanya portal berita itu, banyak portal lain juga berisi informasi serupa. Ternyata tulisan itu berasal dari akun TikTok Sang Guru besar ilmu ekonomi Universitas Indonesia. Ia mengomentari perilaku masyarakat kota besar di Indonesia saat libur panjang sejak akhir tahun 2024 hingga libur Isra Miraj dan Imlek. Disebutnya, walau situasi ekonomi dalam negeri dan dunia sedang tidak baik-baik saja, banyak orang tetap berlibur, makan-makan, jalan-jalan dan jajan-jajan. Gempa PHK dimana-mana, inflasi yang terus menghantui pengeluaran rumah tangga hingga pengangguran yang sulit teratasi tidak menghalangi banyak orang untuk refreshing di berbagai tempat wisata. Si Prof. menyebutnya sebagai efek lipstik, yaitu upaya manusia untuk menjamu diri sendiri di tengah berbagai kesulitan, walau kemudian bentuknya adalah suatu kemewahan yang terjangkau kemampuan dompet.
Bagi saya yang tidak pernah ikut serta dalam gegap gempita arus mudik Lebaran, sedikit banyak dapat merasakan sensasi bermacet-macet di jalan saat memutuskan pergi keluar kota bersama sejumlah teman di libur Imlek. Bikin sebel, tetapi juga seru, karena kami semua dapat mengisi waktu secara positif di tengah kemacetan dengan berbagai permainan. Setelah hampir 12 jam perjalanan dari Tangerang Selatan, Banten, kami tiba di Wonosobo, Jawa Tengah. Sebuah kota berhawa sejuk di kaki Gunung Sumbing. Lelah tapi menyenangkan dengan biaya yang terjangkau. Dengan waktu tempuh yang sama, kita dapat terbang ke daratan Eropa dari Jakarta. Namun biayanya berlipat-lipat dibandingkan berkendara bersama seperti saya.
Kemewahan berikutnya yang saya nikmati adalah perjalanan ke puncak Dieng menggunakan kendaraan tua off-road hasil modifikasi. Tanpa instrumen keselamatan dan kenyamanan, sang pengemudi membawa mobil melintasi jalan sempit, berkelok nan gelap di dini hari dengan kecepatan tinggi menuju titik terbaik untuk melihat kebangkitan raksasa pembawa terang dari balik gunung.
Kami tidak sendirian bergegas ke puncak. Banyak mobil serupa, bus-bus kecil berisi rombongan wisatawan serta motor-motor yang tangguh. Cara berkendara kami semua serupa. Kecepatan yang tinggi, gas menderu, saling mendahului. Padahal lebar jalan dan kondisinya bukanlah kemewahan. Sempit, berlubang-lubang dan berkelak-kelok. Seringkali kami berpapasan dengan kendaraan yang menuruni puncak, sehingga semua pihak harus menahan diri. Bagi saya pribadi, ini adalah moment of learning something.
Melalui kemacetan di kota besar seperti Jakarta saat rush hour adalah hal yang mendebarkan. Jalan yang lebar, tetapi padat oleh berbagai moda transportasi dengan berbagai tipe pengendaranya menimbulkan efek-efek mengejutkan, yang kemudian menjadi biasa. Kata-kata makian berterbangan. Gelengan kepala terjadi karena ulah pengendara yang merasa penting dan terburu-buru. Bahkan tidak sedikit aksi salip menyalip yang menimbulkan adu mulut hingga perkelahian.
That’s not how it happened di perjalanan ke puncak Dieng hari itu.
Ada dua hal yang saya amati saat kemacetan itu terjadi. Pertama dalam kondisi seruwet apapun akibat mobil dan motor saling salip, tidak ada kata-kata kasar yang terucap. Meski para penumpang (minimal di mobil yang kami tumpangi) sudah nggak sabar, dongkol atau frustasi akibat terjebak kemacetan, kondisi tetap kondusif. Para sopir saling memberi petunjuk bagaimana melepaskan diri dari jepitan bodi mobil satu sama lain. Hal kedua, di saat ada mobil yang tak bisa gerak akibat roda terjebak lumpur atau terlambat ancang-ancang di tanjakan, maka para sopir lain turun tangan memberi dukungan. Setiap mobil off-road pasti dilengkapi oleh kabel penarik yang berguna untuk menolong mobil lain yang gagal menanjak.
Atmosfir penuh tolong menolong menghangatkan udara dingin di puncak Dieng nan indah.
Setelah menonton keindahan sang surya yang menyembul dari balik gunung, kami meneruskan perjalanan untuk menkmati sarapan di sebuah pasar tradisional. Masih di seputaran Dieng.
Warung makan itu terlihat tidak besar tampak luarnya. Namun menginjakkan kaki ke dalam, saya melihat puluhan orang menikmati sarapan a la buffet restoran di hotel-hotel berbintang. Setiap pengunjung bergerak mengelilingi meja panjang dan besar dengan barisan baskom berisi makanan yang mengepulkan asap. Masakan lokal. Sebut saja sayur lodeh, mie kuah, tempe goreng, dsb. Hmmm. Sambil menulis ini, saya kembali membayangkan semuanya dan… it makes me drooling. Itu adalah makanan klangenan (kesukaan) dari masa lalu.
Jika semua itu arti dari sebuah kemewahan, sudah pasti saya adalah salah satu orang yang paling beruntung. Bagaimana tidak, hal-hal yang terpendam di dasar memori terungkap kembali setelah melewati proses yang relatif panjang dan sulit. Scarpato (2003) menyebutkan menikmati makanan dan minuman membutuhkan seni atau ilmu untuk sampai kepada level yang memuaskan. Baik saat membuatnya maupun menikmatinya. Betapapun sederhananya jenis makanan itu.
Saya tidak menolak pandangan Prof. Rhenald Kasali menyebutkan fenomena liburan di tengah kesulitan ekonomi adalah sebuah kemewahan (yang terjangkau). Hanya saja berangkat dari pengalaman perjalanan ke Dieng itu, saya meyakini liburan terutama dengan orang-orang tersayang adalah kebutuhan. Tidak sekedar kemewahan. Itu adalah kebutuhan untuk menyegarkan mental, spiritual serta sosial. Abraham Maslow menyebutkan kasih sayang dan persahabatan dengan orang-orang di sekitar (apalagi sambil liburan) akan memberi rasa bahagia dan meningkatkan kualitas hidup.
Jakarta, 31 Januari 2025