Simbolisme dan Pesan Tersembunyi

Tiba-tiba menonton sepak bola menjadi menarik buat saya. Apalagi penyebabnya kalau bukan Timnas Garuda yang berlaga di Kualifikasi Piala Dunia 2026. Walau sempat terpuruk di hadapan para pemain negeri Jepang dan China, mereka begitu superior mengepakkan sayap mematahkan perlawanan tim elang Arab Saudi. Alhasil peluang maju ke babak berikutnya masih terbuka.

Namun demikian menonton pertandingan sepak bola, bagi saya, tidak sekadar menanti-nanti hasil pertandingan. Siapakah yang menang, berapa banyak gol yang tercipta dan siapa saja yang menciptakannya atau adakah kartu merah yang jatuh karena pelanggaran keras nan emosional.  Gaya sejumlah pemain ketika menciptakan gol rasanya adalah hiburan tersendiri. 

Di kalangan pesepakbola internasional, salah satu gaya yang diadopsi banyak pemain saat melakukan selebrasi adalah gaya Cristiano Ronaldo. Caranya adalah setiap usai mencetak gol, ia akan lari ke pojok lapangan, melompat dan berputar 180 derajat hingga mendarat dengan posisi mengembangkan tangan. Dari mulutnya terdengar teriakan “Siuuu!!!” Cara yang lain adalah Lionel Messi, salah satu pemain sepak bola terhebat di dunia. Pesepakbola asal Argentina itu selalu menunjukkan sikap mengarahkan pandangan dan telunjuknya ke langit usai membobol gawang lawan. Sementara Kylian Mbappe, pemain asal Prancis yang kini bermain untuk klub Real Madrid akan berlari ke pinggir lapangan lalu menyilangkan lengannya setelah menyarangkan bola ke gawang lawan.

Saya sih mengartikan hal-hal itu sebagai ungkapan untuk mengapresiasi diri setelah meraih keberhasilan. Mereka, menurut saya, sedang bilang, “Damn, I’m good” atau “Thank you for this success”. Anda juga bisa kok mengartikan hal yang berbeda, sesuai pengalaman dan pengetahuan. Sah-sah saja. Namun cara yang digunakan sangat khas dan ikonik jadi tentunya memiliki rahasia tersendiri.

Mengacu pada artikel di portal Liputan 6, Arti Selebrasi Gol 5 Pesepak Bola Dunia, Lionel Messi sebenarnya berharap almarhumah nenek yang dikasihinya, Celia dapat melihatnya beraksi dari “atas”. Sang nenek yang disebut selalu membantu Messi meraih mimpinya di lapangan, wafat tahun 1998. Messi belum jadi apa-apa, karena baru berusia 11 tahun. Lain lagi Luis Suarez. Pesepak bola asal Uruguay, yang kini kembali bermain dengan Messi di Klub Inter Miami, AS setelah sempat bersama di Barcelona Spanyol, punya gaya “agak lain”. Tiga jari tangannya membentuk pistol yang kemudian dicium setelah ia menggetarkan gawang lawan. Gaya pistol itu membuatnya dijuluki “El Pistolero”. Nyatanya, ia mengaku, tiga jari dan ciuman itu adalah tanda cintanya pada sang isteri dan tiga anaknya. Nggak ada bau-bau kekerasan sama sekali dengan bentuk pistol yang tercipta seperti yang dimaknai publik.

Aihhh, saya tidak akan melulu bicara soal gestur simbolik di lapangan sepak bola. Kita bisa menemukan simbol-simbol bermakna rahasia tertentu di bidang lain. Di dunia politik, sebuah contoh dahsyat terekam kamera di tahun 1998. Saat itu perekonomian Indonesia terjun bebas seiring dengan jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Pemerintahan Indonesia pun meminta bantuan Lembaga donor International Monetary Fund (IMF). Sebuah foto menunjukkan Presiden Soeharto membungkuk untuk menandatangani surat perjanjian Indonesia dengan IMF. Di sebelahnya, dengan posisi berdiri dan menyilangkan tangan di dada, Direktur Pelaksana IMF Michel Camdessus menyaksikan penandatanganan tersebut. Sontak banyak pengamat menilai Indonesia berada di bawah arogansi ekonomi liberal pemilik uang.

Pertanyaannya, benarkah semua pemaknaan terhadap simbol-simbol yang terlihat sesuai dengan apa yang ada di benak audiensnya? Sayangnya khusus pada kasus Michel Camdessus dan IMF, kita tidak memperoleh jawaban. Sebagai Masyarakat Timur, kita sangat menghargai kesopanan, sehingga gestur tubuh kita benar-benar terukur dalam relasi kekuasaan. Berbeda dengan di Barat. Seorang anak dapat memanggil nama boss-nya atau orang yang lebih tua dengan nama saja plus sikap tubuh yang “tabu” dalam ukuran ketimuran.

Sebagai makhluk yang kompleks, manusia berkomunikasi dengan cara yang kompleks pula. John Powers (1995) menyebutkan penyampaian pesan melibatkan tanda dan simbol, bahasa serta wacana. Itulah bukti betapa kompleksnya cara menerjemahkan (encoding) pesan. Lebih dari itu, seiring dengan perkembangan teknologi, manusia pun mengeksplorasi simbol bentuk lain untuk dijadikan sarana penyampaian maksud.

Kehati-hatian pemaknaan sebuah simbol merupakan sebuah keharusan, agar kita tidak salah memberi tanggapan. IKComm berkesempatan menangani krisis reputasi sebuah perusahaan besar. Masalah laporan keuangan tahunan yang tidak menggembirakan membuat manajemen puncak menghadapi Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dengan kegamangan. Walau secara umum kerja sama IKComm dan Tim Komunikasi Perusahaan dapat meredam gejolak negatif di publik, tidak berarti citra manajemen aman di mata pemegang saham.  Sang CEO dalam beberapa kesempatan menyampaikan simbol-simbol ambigu tentang keberlanjutan kepemimpinannya. Ia menunjukkan optimismenya untuk membawa Perusahaan tersebut keluar dari masalah. Namun pada saat yang sama kata-kata bersayap meluncur tentang persiapan untuk perubahan komposisi kepemimpinan; dan ternyata… Pasca-RUPS, CEO memang diganti! Tapi. kami mendapat bocoran sang CEO-lah yang mengajukan pengunduran dirinya karena satu dan lain hal.

John Fiske (2012) menyebutkan budaya dan kode atau sistem dalam kelompok tertentu menjadi alat penting untuk memahami berbagai simbol yang menyembunyikan pesan tertentu. Anda membutuhkan pemahaman lebih tentang wacana dan budaya untuk memahami pesan-pesan tersembunyi. Jadi, tidak sekadar membaca simbol atau tanda-tandanya secara kasat mata.

Rumit ya? Betul. Tapi itulah keindahan berkomunikasi dengan segala kompleksitasnya. 

 

Jakarta, 28 November 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalRaker dan Moonraker