Kekhawatiran vs Harapan di 2023

Resolusi? Hmm, udah deh. Kata itu muncul terus setiap akhir tahun dan awal tahun baru. Biar nggak mainstream, kata anak-anak muda, baiklah, saya pakai istilah harapan saja, biar tidak perlu buka-buka kamus.

Hari, bulan, tahun, abad dan seterusnya adalah hasil konstruksi sosial. Manusia bersepakat memaknai sebuah peristiwa ulangan saat matahari terbit, terbenam dan seterusnya sebagai perubahan hari; hari berganti minggu setelah tujuh hari, minggu menjadi bulan hingga setelah 12 bulan menjadi tahun. Hal itu sesuai dengan lamanya bumi mengelilingi matahari. Toh, setiap saat bumi berputar di porosnya sambil berevolusi. Dan kini, setelah mendapat kesepakatan penduduk bumi (sebagian besar) sekarang umat manusia memasuki tahun 2023.

Media nasional dan global di sepanjang tahun 2022 memberitakan banyak berita negatif. Saya merasa umat manusia memasuki lorong gelap transisi menuju perubahan tahun. Apalagi sekitar seminggu menjelang berakhirnya tanggalan di kalender, cuaca hampir selalu mendung dengan hujan deras mengguyur spanjang hari; minimal di Jakarta dan sekitarnya. Petir, angin kencang, pohon tumbang, banjir seringkali menghiasi lini masa media sosial dan grup diskusi WhatsApp.

Itu baru dari segi cuaca. Belum terhitung bencana alam, perang, perubahan iklim, resesi ekonomi akibat perang, pandemi dan seterusnya, you name it.

Kok seperti tidak ada berita positif? Adaaa (bacanya dengan suara yang dibuat-buat). Hanya saja bad news is good news for media. Berita tentang hal-hal negatif lebih menjual ketimbang berita baik. Menemukan berita baik, positif, inspiratif di media mainstream lebih kecil kemungkinannya ketimbang di media sosial.

Salah satu akun medsos yang saya ikuti adalah goodnews movement (sengaja saya tidak sebutkan platformnya, biar tidak dibilang meng-endorse). Isinya berbagai informasi tentang aktivitas manusia yang membuat hati hangat, senang, sangat menyentuh, bahkan bagi saya yang cenderung sentimental ini, dapat membuat kerongkongan tercekik dan pelupuk mata “becek”.

Presiden Joko Widodo di penghujung tahun membawa berita positif, yaitu mencabut PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Covid-19 terkendali. Masyarakat tidak perlu lagi khawatir berkegiatan. Kita juga selalu bisa melihat Pak Jokowi bertemu rakyat atau mengikuti acara yang berada di ruangan bersama orang banyak tanpa bermasker lagi. Benarkah berita baik akan selalu baik dan berita buruk akan selalu buruk?

Sebagai makhluk berintelegensia tinggi, dengan hati nurani, manusia memiliki kemampuan menelaah sebuah peristiwa (data, informasi, citra, apapun namanya) dan memberi label sesuai pengetahuan, pengalaman dan tujuan hidupnya. Manusia dapat berdiskusi dengan diri sendiri (komunikasi intrapersonal) untuk memahami berbagai aspek yang ditimbulkan setelah menyerap data yang ada.

Shedletsky (2017) menyebutkan pentingnya pemaknaan pada hal-hal yang diserap. Pemaknaan itu selanjutnya yang akan membentuk pesan yang dimunculkan keluar; baik bentuknya ucapan, tindakan atau hanya sekedar pemikiran. Jangan lupa, krenyitan dahi sesuai membaca pesan di grup WA tentang sikap seorang tetangga adalah bentuk pesan nonverbal.

Kembali kepada bagaimana menyikapi banyaknya berita negatif dan minimnya berita positif, menjadi sangat penting untuk tidak bersegera mengambil keputusan. Sebuah berita tentang bencana memang bermakna kesedihan, duka cita, kekhawatiran dan sebagainya. Namun apakah itu berarti akan membuat tidak ada lagi harapan dan kebangkitan?

Sebuah kalimat bijak (quoteinvestigator.com menyebutkan William L Watkinson sebagai yang pertama memunculkannya pada 1907) selalu menghiasi benak saya: It is better to light a candle than to curse the darkness (lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuki kegelapan). Ketika diri ini menyikapi secara negatif berbagai berita jelek yang beredar, sebetulnya kita tengah merajut jaring kekhawatiran untuk diri sendiri. Pada Akhirnya, kita sendiri yang terjebak di dalamya. Tidak dapat melihat sinar harapan seberapapun samarnya di tengah badai dan kegelapan. Bahkan kita sendiri tidak bisa mengubah mindset betapa pentingnya menjadi terang dan harapan bagi orang lain.

Jadi? Betapapun banyaknya berita buruk dan situasi, mari dorong diri ini untuk selalu mencari sisi terang dan harapan yang perlu dibagikan kepada orang lain.

Selamat Tahun Baru 2023.

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalGhosting dan Komunikasi