Gen Z Bukan Generasi Zzzzz

Sebuah artikel di Detik.com membuat saya termangu. Ini hasil studi di Eropa. Apakah juga menggambarkan situasi di Indonesia? Dengan judul Perusahaan Ramai-ramai Pecat Gen Z (22 Oktober 2024), tulisan tersebut mengutip laporan Euronews yang menyebutkan sebuah studi, bahwa satu  dari enam manajer (responden 1000 manajer) tidak mau lagi mempekerjakan Gen Z. Dari 10 alasan utama kegagalan Gen Z memasuki dunia kerja, di antaranya adalah sering terlambat (manajemen waktu), berbicara dan berpakaian semau gue serta sulit bekerja dalam tim.

Kayaknya alasan-alasan itu familiar di telinga saya.

Betapa tidak, saya menemukan beberapa kasus serupa yang melibatkan pemuda pemudi Gen Z. Namun saya juga harus adil dengan menyebutkan sejumlah remaja perbatasan Gen Z dan Alfa yang berbeda sama sekali dengan laporan hasil studi di Eropa di atas.

Begini:

Seorang teman yang mengelola sebuah perusahaan bertekad untuk memperkuat divisi media sosialnya. Ini adalah sektor yang suka atau tidak dapat mempengaruhi citra dan penjualan perusahaan seiring dengan perubahan perilaku konsumen terutama kalangan muda. Dunia digital. Oleh sebab itu sang teman gencar mempublikasikan lowongan yang menyasar kalangan muda baik semester akhir, baru lulus kuliah atau paling tua berusia 25 tahun. Pengalaman bukan faktor menentukan, katanya. Ia yakin karena sistem kepegawaiannya dianggap sudah mumpuni untuk melatih karyawan baru tanpa pengalaman.

Lama tidak terdengar beritanya, saya pun mencolek. Siapa tahu diajak makan siang gratis (ahahaiii). And you know what? Bukannya mengajak hang out, ia malah curhat kegundahannya karena beberapa karyawan muda rekrutannya tidak bertahan lama. Menurutnya masalah mereka adalah terlambat tanpa alasan dan koordinasi, sulit berkomunikasi (emosional ketika ditegur dan penggunaan bahasa “pergaulan masa kini”) serta tidak punya inisiatif.

Hmm kok ya hampir sama dengan hasil studi di Eropa.

Ehhh itu kan pandangan sepihak (pemberi kerja). Yang adil dong, demikian nurani saya berontak. Ada subyektivitas penilaian dengan alat ukur yang relatif. Soal keterlambatan memang jelas, apalagi jika tanpa alasan kuat dan terjadi berkali-kali, tentu masalah. Namun istilah sulit berkomunikasi dan tidak punya inisiatif, saya meyakini semua pihak (pemberi kerja dan pegawai) perlu menyepakati tolok ukurnya. Jangan-jangan pemberi kerja yang kebetulan Generasi X seperti saya tidak berhasil menangkap pesan atau umpan balik dari karyawan Gen Z-nya yang seolah berasal dari planet yang lain (meminjam istilah sepak bola tentang kemampuan atau skill Lionel Messi yang tidak biasa alias hebat dan disebut dari planet lain).

Komunikasi atau mengomunikasikan sebuah pemikiran melibatkan unsur yang kompleks. W.J. Seiler, (1988) menyebutkan ada kata-kata, sikap tubuh (non-verbal), referensi dan pengetahuan pemberi pesan dan penerimanya, budaya, ataupun konteks. Dengan banyaknya faktor itu, kemungkinan miskomunikasi antara Gen Z dan generasi sebelumnya mudah terjadi. Penelitian Ajmain dkk (2020) menyebutkan gaya komunikasi Gen Z sangat dipengaruhi era teknologi digital. Mereka tidak terbiasa dengan interaksi langsung.

Di pihak lain, saya sendiri mengalami hal luar biasa. Suatu saat saya dihubungi seorang wanita yang mengaku sebagai alumnus SMP Negeri di Jakarta Utara tempat saya pernah menimba ilmu lebih dari 40 tahun lalu. Setelah memperkenalkan diri, dia atas nama panitia mengajak saya untuk berbagi pengalaman dengan para siswa SMP tersebut.

Waduh!!! Gen X seperti saya harus ngomong apa di harapan anak-anak yang sebagian Gen Z dan sebagian lagi Gen Alfa. Merasa tertantang, saya pun mengiyakan, toh cuma berbagi pengalaman.

Di hari H, saya meluncur pagi-pagi sekali, karena acara dimulai pk 8.30 WIB. Jarak dari BSD Tangsel ke Jakarta Utara, sesuai peta Google dengan beberapa alternatif, antara 45 dan 60 km. Berangkat sebelum pukul 6 pagi menjamin kenyamanan berkendara walau saya pasti akan tiba jauh sebelum acara tersebut dimulai.

Aihhh perjalanan itu tidak penting. Langsung saja ke kegiatan yang dimaksud. Apa luar biasanya?

Memasuki ruang kelas yang dijadikan temu alumni dan siswa, saya melihat sekumpulan anak, maaf dengan sebutan berikut, anak kecil. Betul, anak kecil. Tubuh saya hanya rata-rata pria dewasa Indonesia. Nah, anak-anak itu banyak yang lebih kecil dari saya. Rasanya kurang dari 10 persennya yang tingginya sama atau lebih tinggi dari saya. Otomatis saya memandang rendah mereka segalanya (I judged them by their cover).

That was totally wrong. I was wrong. Big one. Kenapa?

Saat bertanya jawab, anda tahu? Mereka berlomba-lomba bertanya. Mereka percaya diri dan punya rasa ingin tahu yang besar. Siapa bilang anak-anak seusia mereka pasti tidak punya inisiatif? Tidak perlu dua kali undangan untuk bertanya. Pertanyaan-pertanyaan mereka pun bukan kaleng-kaleng. Tidak sekadar bertanya untuk dapat poin atau hadiah hiburan dari alumni.

Salah satunya: saya sudah mengikuti semua Pelajaran dengan serius serta banyak kegiatan ekstrakurikuler, tetapi saya masih belum tahu apa cita-cita saya. Apa yang harus saya lakukan? Saya yakin remaja ini punya kerinduan untuk melakukan hal-hal besar untuk diri, lingkungan sekitar maupun yang lebih luas. Yang ia butuhkan, saya yakin adalah arahan, dukungan serta teman diskusi yang dapat membuka cakrawala masa depannya. Masalahnya, jawaban saya yang relatif singkat di acara itu belum tentu akan diingat. Saya yakin ia membutuhkan mentor, teladan, teman dan orang yang mengerti utuh diri dan kemampuannya.

Penelitian Rinanti Nur Hapsari dkk (2024) mengakui Gen Z memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi yang menghambat mereka memasuki dunia kerja. Ditambah dengan situasi Pandemi Covid-19 yang memaksa mereka terisolasi dari dunia luar dan lebih banyak lagi menggunakan peralatan teknologi tanpa tatap muka langsung. Oleh sebab itu career coaching dengan sentuhan humanis yang komunikatif dapat membantu Gen Z meraih hasil terbaik.

Teknologi digital dengan segala aspek yang menyertainya adalah keniscayaan. Gen Z dan Gen Alfa serta generasi sesudahnya memiliki semua keuntungan itu. Mereka harus mampu mengeksplorasi dan mengeksploitasi kemajuan teknologi untuk kebaikan semua. Tugas kita yang lebih tua dari mereka adalah memahami mereka, memberi teladan dan mendampingi tanpa perlu melabeli mereka sebagai generasi Zzzzz.

Jakarta, 23 Oktober 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalSimbolisme dan Pesan Tersembunyi