Permisi dan Terima Kasih

Sumimasen. Arigato.

Dua kata itu sering penulis dengar saat berkunjung ke negeri Sakura beberapa waktu lalu. Sumimasen kira-kira artinya maaf atau permisi. Sedangkan arigato adalah terima kasih. Dalam banyak kesempatan dua kata itu muncul.

Banyak tempat yang penulis tuju berukuran relatif kecil dan penuh pengunjung, sehingga singgungan antartubuh dan barang mudah terjadi. Apalagi penduduk lokal cenderung bergerak cepat dan menambah kemungkinan benturan. Tidak heran kata sumimasen kerap terdengar. Sumimasen dengan sedikit anggukan kepala. Tidak perlu senyum. Tak ada badan yang membungkuk. Semua mengalir begitu saja.

Setelah itu…arigato. Arigato. Terima kasih. Terima kasih telah memberi tempat, terima kasih telah memaafkan. Atau terima kasih telah berbuat sesuatu yang baik. Bahkan terima kasih karena telah berterima kasih.

Penulis menangkap saat mengucapkan arigato, anggukan kepala tidak cukup. Badan harus ikut bergerak sedikit membungkuk.

Dua kata sederhana, tetapi bermakna sangat dalam ketika menggambarkan komunikasi antarpribadi. Tanpa mengecilkan kesopanan dan keramahtamahan orang Indonesia, kata-kata dan sikap tubuh orang Jepang saat menghargai orang lain tampak tulus dan mencerminkan kesungguhan hati.

Mengucapkan kata sumimasen dan arigato merupakan budaya Jepang yang disebut aisatsu. Sedangkan membungkukkan tubuh disebut ojigi. Dua hal tersebut berlaku tidak hanya dari level bawah kepada yang lebih tinggi, tetapi juga berlaku dari atas ke bawah dengan penyesuaian tertentu. Clifford Geertz (1973) menyebutkan bahasa dan konteks budaya tidak terpisahkan. Bangsa Jepang menunjung tinggi penghormatan terhadap lawan bicara, apalagi pada pihak yang lebih tua. itu sebabnya ucapan yang terlontar dan sikap tubuh (gestur) memiliki arti penting dalam memelihara hubungan (Nakanishi, 2008).

Terus apa maumu dengan tulisan ini? (pertanyaan kontemplatif dalam diri penulis). Sana pindah warga negara, mumpung nilai tukar mata uang Jepang lagi rendah (ejekan tambahan di dalam hati).

Begini. Indonesia dikenal sebagai negara yang ramah. Pujian tentang warganya yang murah senyum tidak kurang-kurang. Databoks (2022) menyebutkan Indonesia adalah salah satu negara paling ramah di dunia. Namun demikian sepertinya harapan tinggi untuk bisa merasakan keramahan itu tidak terbukti di kota besar seperti Jakarta (terutama di jalan raya) dan media sosial. Berbeda halnya di daerah-daerah yang masih menjaga tradisi seperti Bali, Yogya, Papua. Senyum, sapaan, dan penghormatan masih mudah dijumpai dan dirasakan.

Nah, saya menyebut kota besar seperti Jakarta, terutama jalan raya sebagai area bebas keramahan alias penuh ketidaksopanan dan kekerasan verbal hingga fisik. Portal Kompas.com (07/08/2024) menulis; di Semarang, adu mulut keras terjadi antara anggota TNI dengan tiga pria yang disebut berkendara dengan ugal-ugalan. Yang lebih sadis, seorang anggota Polri ditusuk empat pemuda di Bandar Lampung, karena tidak terima disalip korban. Setelah adu mulut, penusukan terjadi. Jalan raya kita bisa jadi adalah kanvas besar atas lunturnya sikap saling menghormati dan menghargai.

Berikutnya media sosial. Ya, Indonesia harus malu kehilangan citra ramah dan sopan saat menyinggung pesan-pesan atau komentar di media sosial. Survei Digital Civility Index (DCI) (2021) yang mengukur tingkat kesopanan digital global menunjukkan posisi rendah Indonesia.  Dari 32 negara yang disurvei, Indonesia berada di urutan 29. Indonesia sangat tidak sopan. Sementara, di posisi 4 terdapat Singapura, yang juga posisi tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara.

Pertanyaannya, apakah ada korelasi antara kemampuan finansial dengan ketidaksopanan? Singapura dan Jepang adalah dua negara makmur, jauh lebih makmur dibandingkan Indonesia. Apakah betul begitu. Atau pendidikan? Dua negara itu terbilang memiliki tingkat literasi lebih baik dibandingkan Indonesia. Bisa jadi.

Mengutip wawancara Kompas.com dengan Endang Mariani seorang psikolog, ucapan kasar dan tidak sopan di media sosial dan kehidupan sehari-hari merupakan respons atas rasa frustasi yang timbul akibat himpitan kesulitan ekonomi atau masalah sehari-hari. Selain itu nilai-nilai keluarga yang tak terjaga baik membuat lemah benteng kesopanan di kalangan remaja.

Aihhhh…

Saya pun teringat ada video tentang sekelompok anak sekolah Jepang yang hendak menyeberang jalan. Saat sebuah mobil berhenti untuk memberi jalan, anak-anak tersebut sesampainya di seberang membungkukkan tubuh ke arah mobil itu. Arigato gozaimasu.

Alangkah indahnya.

Apakah saya akan melakukannya kepada mobil yang berhenti mempersilakan saya, jika saya menyeberangi jalan Petogogan di depan kantor? Hmmmm… (mata mengerling ke langit-langit, tangan yang satu memegang dagu dan jari-jari tangan lain mengetuk meja).

Jakarta, 25 September 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalGen Z Bukan Generasi Zzzzz