Jariku: Berhati-hatilah

Jagad pemberitaan dalam sekejap penuh dengan berita unjuk rasa yang menolak RUU Pilkada DPR RI hanya beberapa hari setelah negara tercinta ini merayakan ulang tahunnya yang ke 79. Berbagai sudut (angle) penulisan muncul yang bertebaran di seputar aktivitas politik dan unjuk rasa itu sendiri. Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia ‘riuh dan hangat’ dengan aktivitas masyarakat di jalan raya serta kantor wakil rayat.

Jika di media tradisional dan daring saja terasa gegap gempita oleh pemberitaan itu, apalagi di media sosial. Terutama Twitter atau X. Berbagai tulisan, foto, meme, video dan isu bermunculan dengan beragam tujuan. Ada yang pro ada yang kontra. Ada yang memaki, ada yang memuji. Walau ada tagar tertentu yang menguasai trending di puncak selama dua hari berturut-turut, ternyata masih ada tagar lain atau topik yang related dengan hal itu turut berkumandang. Seru!

Seorang anak muda, mahasiswi Fakultas Hukum di salah satu universitas yang berkampus di pusat Jakarta menyampaikan kegeramannya atas situasi politik yang terjadi. Tidak setuju dengan keputusan politik, walau tidak turun ke jalan bersama rekan-rekannya, ia mengecam para politisi. Meja makan tempat kami berbincang saat makan malam menjadi saksi betapa makanan yang tersedia tak tersentuh dan mendingin akibat perbincangan yang begitu intens. Dari perbincangan itu, saya mengakui anak-anak muda bukannya apolitis, akan tetapi mereka juga rentan apatis saat menghadapi realita. Anak muda itu, mungkin mewakili rekan-rekannya sesama mahasiswa dengan dinamika politik yang ada. Para politisi, pejabat, partai dan pendukungnya (termasuk influencer dan buzzer) disebutnya telah mengabaikan nurani, ideologi dan etika. Dengan berapi-api sang mahasiswi mengecam pengambilan keputusan politik yang didasarkan pada kepentingan kekuasaan kelompok semata dan bukan kepentingan yang lebih besar.

Secara khusus pemudi Gen Z itu mengakui teman-temannya yang turun ke jalan hari itu memiliki keberanian dan sikap ketimbang dirinya. Kerelaan menghadapi berbagai kemungkinan di lapangan adalah posisi yang sulit ia tempuh. Alasannya, ras kulit kuning, mata sipit, perempuan dan Kristen membuatnya tidak berani mengambil resiko. Ia mengingat pesan orang tuanya yang mewanti-wanti untuk memperhitungkan faktor-faktor tersebut jika berada di tengah gejolak masyarakat.

Seperti tertampar, saya merenung. Apakah trauma itu tidak akan pernah terhapus? Dia pasti belum lahir saat sejarah hitam 26 tahun lalu itu tertulis. Dia pasti hanya tahu informasi dari orang tuanya, mungkin kesaksian keluarga lainnya atau jejak-jejak digital. Apakah luka itu sama sekali tak terhapus?

Sebuah akun centang biru di Twitter menyampaikan pesan kebencian pada pihak-pihak yang disebutnya sebagai pemicu unjuk rasa di gedung parlemen. Ia menulis kemarahan publik bisa menyebabkan kondisi tahun 98 terjadi lagi. Postingan itu kemudian mendapat tanggapan dan diperingatkan oleh akun-akun lain untuk tidak memperkeruh suasana. Belum lagi beberapa unggahan yang kemudian diketahui adalah berita bohong seperti menyiramkan minyak ke tengah kobaran api.

Hujatan dan pujian di media sosial adalah fakta dan realita saat ini. Kaum muda menjadikan media sosial sebagai platform rutin harian untuk memperoleh informasi, hiburan atau bersuara (Godawa, 2019). Pujian merupakan salah satu kebutuhan manusia. Medsos mengakomodasi hal itu lewat likes, tag atau jumlah views yang tinggi, sehingga penggunanya memperoleh ruang ekspresi dan kenyamanan (Teori Uses and Gratification dari Katz, Blumler, Gurevitch). Selanjutnya Ia akan terus berusaha mendapatkannya apalagi dengan bonus pertambahan jumlah pengikut (followers).

Hanya saja pada saat yang sama, medsos adalah tempat sampah. Anonimitas dan kebebasan tanpa batas menjadi faktor utama produksi sampah yang massif di media sosial. Hoax atau berita bohong dan ujaran kebencian berseliweran di jagat maya (Rahmadhany dkk., 2021). Aplikasi obrolan seperti whatsapp, line, telegram serta platform medsos seperti X, Facebook dan tiktok merupakan ladang subur penyebaran ‘sampah’ tersebut. Situs resmi Kominfo menyebutkan ada sekitar 800.000 situs penyebar hoax dan ujaran kebencian.

Dengan sedemikian masifnya gempuran informasi yang kita terima setiap hari sudah barang tentu setiap kita adalah filter untuk diri sendiri dan orang yang kita sayangi atau bahkan negara yang kita cintai ini. Apakah yang hendak kita bentuk pada masa depan kita semua? Apakah kita akan memuji keberhasilan pribadi, lingkungan atau negara ini dalam membuat kehidupan yang lebih baik? Ataukah kita hanya akan saling menghujat tanpa solusi atas perbedaan

Peristiwa unjuk rasa di dunia nyata dan gejolak di media sosial terjadi di saat yang bersamaan. Hanya saja, unjuk rasa bisa berhenti dalam hitungan jam hingga hari, tetapi tidak demikian dengan kebencian yang timbul akibat saling hujat di media sosial.

Jari kita yang menulis pesan di media sosial dapat memuji seseorang dan menjadikannya pahlawan. Di saat yang lain, dengan tanpa hikmat dan kebijaksanaan, jari yang sama bisa menghadirkan api pembakar persaudaraan.

Semoga Tuhan melindungi negeri ini.

 

Jakarta, 28 Agustus 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalPermisi dan Terima Kasih