Koordinasi, Mengkoordinasi dan Dikoordinasi

Ada satu kata yang selalu menghantui saya dalam banyak kesempatan saat berinteraksi dengan orang lain. Baik one on one atau one to many. Bahkan yang paling parah bila many to many. Kata itu adalah koordinasi. Mudah diucapkan, tetapi sangat sulit diterapkan. In many ways.

Baru-baru saja satu klien IKComm menyelenggarakan sebuah perhelatan penting. Saya bilang penting, karena materi yang dikelola akan memberi dampak positif pada kesehatan seseorang serta kondisi negara pada skala yang lebih luas (kesehatan, ekonomi dan sosial). Dapat dibayangkan betapa besarnya pertaruhan itu!

Acara yang dikelola secara mandiri rasanya relatif mudah pengorganisasiannya. Tidak demikian bila pengerjaannya melibatkan tim dari entitas lain dengan gaya bekerja yang berbeda sama sekali. Itu baru dari perbedaan in general, belum memperhitungkan gaya perorangan dan kelompok-kelompok berkualifikasi khusus. Kok kelompok? Maksudnya? Berdasarkan pengalaman saya, kelompok orang teknis relatif lebih “berat” ketimbang kelompok non-teknis seperti tim marketing atau humas. Namun pembicaraan tentang poin ini saya loncati dulu, karena saya mau membicarakan secara khusus soal koordinasi.

Pada intinya ada dua entitas besar, baik dari segi jumlah orang, pengaruh bagi publik serta keuangan, bekerjasama untuk membuat acara dengan sebuah tujuan penting bagi negara (tidak usah disebutkan #rahasiadapur). Mendatangkan pejabat penting dari banyak organisasi diluar penyelenggara acara dan mengatur protokol serta agenda acara tentu membutuhkan pemahaman khusus.

Sebagai perbandingan (meski tidak terlalu apple to apple), Presiden ke-7 RI, Joko Widodo dikenal sebagai kepala negara yang sering menyapa publik dalam berbagai perjalanan. Saat berkendara tiba-tiba berhenti, keluar mobil dan menyalami warga. Ketika melakukan kegiatan itu pengamanan presiden dan tim protokol mesti aktif melihat situasi untuk memastikan keselamatan Presiden dan kelancaran kegiatan. Pejabat negara biasanya terikat pada aturan protokol yang ketat. Ada unggah-ungguhnya. Saya membayangkan betapa repotnya mengkoordinasikan pengamanan Presiden di tengah kerumunan orang banyak. Ada Paspampres, Polisi, TNI, belum lagi Satpol PP di ring kesekian. Kegiatan lain kan mesti tetap berjalan. Terus bagaimana bila Presiden, Ibu Negara dan pejabat lain mau ngopi-ngopi (atau makan-makan) di lokasi tertentu yang tidak di-set sebelumnya... Pasti “gedubrakan”. Ujungnya acara Presiden tetap harus lancar, aman dan terkendali.

Kembali ke acara klien IKComm. Berkoordinasi untuk menjalankan agenda acara dengan protokol pejabat penting adalah sebuah seni tersendiri. Semua pihak ingin membuat acara berhasil, lancar dan memuaskan. Hanya saja untuk meraihnya diperlukan upaya ekstra. Memahami tugas sendiri, tugas pihak lain, tugas bersama. Menekan ego sendiri, mengerti gaya orang lain, mencapai kata sepakat. Terus melaksanakannya. Berat! Tapi bukan berarti tidak mungkin…

Apakah satu pihak mau mempercayai pihak lain untuk melakukan satu aktivitas bersama? Haixia Huang (2023) menyebutkan perbaikan komunikasi dan koordinasi bisa dilakukan lewat tiga hal berikut: Pertama, bersikap benar dan menghargai orang lain pada setiap level. Partisipasi setiap orang dalam sebuah organisasi dan kegiatan sama pentingnya di setiap level. Ketika unsur-unsur tersebut diperlakukan secara tepat, mereka disebutkan semakin mudah diajak berkoordinasi. Kedua, penggunaan pujian dan kritik secara seimbang dan aktif. Kegagalan selalu mengintai di tengah usaha untuk meraih keberhasilan. Menegur pihak yang salah secara tepat sama pentingnya dengan mengapresisasi pencapaian keberhasilan. Ke-tiga, setiap anggota organisasi layak diperlakukan dengan ketulusan hati. Huang menyebutkan penghargaan mapun perlakuan yang tulus secara psikologis mampu meningkatkan kepercayaan dan memperbaiki kualitas komunikasi.

Mempercayai pihak lain dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan bersama sepertinya sukar dilakukan dalam waktu singkat. Apakah seseorang mau mempercayakan masa depannya pada orang lain yang belum dikenal kapasitas, kapabilitas dan integritasnya?

Nah lo! Ego adalah sumber masalah komunikasi dan koordinasi. Kelewat tinggi meletakkan ego pribadi di tengah sebuah kerja sama tim adalah awal dari kesulitan dan kegagalan pencapaian hasil yang maksimal. Mau mengkoordinasi, tetapi tidak mau diajak berkoordinasi, karena merasa diri terlalu hebat, pintar, atau jagoan.

Robert Greene, seorang penulis banyak buku seputar politik dan kekuasaan menuliskan soal ego dan harga diri: “Pahami: kamu harus memancarkan kepercayaan diri, bukan kesombongan dan penghinaan”.

Hufftt. Tarik nafas dan hembuskan perlahan-lahan. Coordinate!

 

Jakarta, 24 Juli 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalJariku: Berhati-hatilah