Konteks oh Konteks

Hidup tanpa media sosial kini rasanya seperti sayur tanpa garam. Hambar. Akhirnya saya (jangan-jangan sama seperti Anda) pun mengisi hari-hari saya dengan browsing, checking, stalking dan surfing berbagai aplikasi media sosial, yaitu X alias Twitter, Instagram, TikTok selain WhatsApp. Maaf Facebook sudah lama tidak saya sentuh. Dari berbagai informasi, gambar atau video yang masuk ke layar, beberapa hal yang saya tangkap benar-benar mengguncang rasa ingin tahu. Engagement-nya tampak “lumayan” dengan views, likes, dan comments bukan hanya berjumlah satuan. Namun apa daya, bagi saya informasinya tidak cukup untuk memberi sebuah penilaian. Entah karena durasi videonya kurang panjang atau jika itu berbentuk foto, caption dan foto itu sendiri tidak nyambung. Alhasil gambaran besarnya tidak terlihat.

Saya tidak akan me-refer situasi ini pada satu peristiwa saja, tetapi melihat beberapa kasus; seperti soal judi online yang melibatkan nama artis, urusan perang di belahan dunia tertentu, hingga kasus tertentu yang disebut penistaan agama atau penghinaan terhadap seseorang. Sepertinya ada beberapa pihak yang tidak pas melihat kasus-kasus itu.

Melihat gambar atau video atau caption yang tertulis, lalu mendengar audio yang tidak semua jelas, saya meyakini sulit bagi seseorang (sekali lagi minimal saya) dapat menyimpulkan apa yang terjadi. Dengan keterbatasan itu, seseorang bisa menulis sesuatu di kolom komentar. Jika tulisan itu berupa pertanyaan atau meminta kejelasan kepada sang pengunggah informasi, rasanya akan sangat tepat. Namun bila kemudian tulisan itu berupa impresi, kesimpulan, dukungan bahkan hujatan, maka secara otomatis dahi saya akan mengerenyit.

Kenapa?

Media sosial di layar hape (yang kecil itu), berisikan ratusan, ribuan, jutaan terabyte data yang diunggah setiap hari. Website Wearesocial.com menyebut ada 5,61 miliar pengguna medsos di awal 2024. Tergambarkan bukan? Para pe-medsos berbicara bermacam hal dalam satu kesempatan. Dengan data sebanyak itu, akankah setiap orang (berbeda usia, suku, pendidikan, pengetahuan) memiliki pengertian yang sama? Jawabannya tentu, pasti, yakin adalah tidak.

Dalam perbincangan yang baur, konteks pun hilang. Konteks yang hilang atau context collapse adalah sebuah istilah yang muncul tahun 2010an. Saat itu para peneliti menyebut pengguna Twitter yang dalam jumlah besar secara bersamaan melebur ke dalam satu percakapan. Campur aduknya perbincangan telah mengabaikan kebiasaan “normal” antarteman dan keluarga.

Mark Zuckerberg, di laman CNBC.com tahun 2022 menyatakan saat ini pengguna media sosial hanya ingin konten yang seru. Tidak penting siapa yang mengirim, apa isinya atau kebenarannya. Pernyataan itu disebut merujuk pada peningkatan penggunaan TikTok secara drastis. Terlepas dari persaingan Facebook (Meta) dan Bytedance (Perusahaan TikTok), hal itu dapat menjadi perenungan, karena konteks sebuah informasi menjadi hilang.

Masyarakat modern kini terbiasa dengan kecepatan, dan media sosial menyediakan hal itu. Akibatnya, kita cenderung lepas dari konteks informasi yang kita konsumsi (Understanding Context Collapse for Social Media Users, Ijaz dkk,2022). Jika itu berlangsung terus menerus, kita dapat menjadi korban permainan pihak lain.

Dalam satu kesempatan IKComm harus memantau percakapan sosial media tentang salah satu klien yang dalam pendampingan. Percakapan itu sendiri bertendensi negatif dan massif. Klien pun layak merasa tidak nyaman. Dalam situasi genting itu, penting bagi IKComm untuk tetap melihat segala sesuatu secara jernih. Siapa pembuat unggahan? Bagaimana detil isinya? Apakah sesuai data atau hanya berbasis isu? Siapa yang berkomentar? Apakah komentarnya berdasar? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggambarkan betapa IKComm akan meletakkan situasi secara proporsional, tidak out of context sekaligus mengingatkan klien untuk tenang. 

Media sosial suka atau tidak telah menjadi salah satu tolok ukur perhatian publik pada satu lembaga, perusahaan, tokoh atau entitas tertentu, selain media mainstream atau percakapan yang melibatkan tokoh-tokoh terkenal di saluran yang lain. Masalahnya, ketika jumlah suara di media sosial atas topik tertentu sudah relatif besar dan baur hingga kecenderungan kehilangan konteks pun meningkat, maka kesimpulan yang diambil pun dapat kabur atau salah arah alias misled. Pada titik ini sangat penting untuk pihak-pihak yang menjadi obyek perbincangan untuk menyiapkan mental. Komentar (netizen) yang sangat tajam dan menyakitkan bisa terjadi, walau mereka tidak mengetahui konteks, background atau duduk masalahnya. Setelah itu langkah lanjutannya baru akan saat segala sesuatunya telah dilihat secara jernih agar tidak menimbulkan komplikasi baru.

So, be prepared.

Jakarta, 30 Juni 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalKoordinasi, Mengkoordinasi dan Dikoordinasi