“Hail to The King”

‘Pembeli adalah Raja’. Ucapan yang sangat terkenal di kalangan para pedagang dan konsumennya. Sebagai raja, konsumen akan selalu benar dan berada di atas posisi produsen atau penjual. Jika penjual tidak memuaskan, sang raja akan marah. Jangan harap bisnisnya sukses, karena Sang pembeli alias raja tidak belanja lagi. Dalam banyak kasus, susah bagi saya untuk mematahkan pernyataan tersebut. Saya pun tipe pembeli yang akan mengulangi pengalaman berbelanja yang memuaskan di satu tempat. Namun demikian ada dua kesempatan yang membuat saya memikirkan ulang kebenarannya sekaligus membuat perspektif baru tentang relasi produsen (termasuk jasa) dan konsumen.

Hal pertama; membaca portal berita dan medsos terutama X (Twitter) merupakan kebiasaan saya untuk mengisi hari mulai dari ritual pagi setelah bangun tidur, di perjalanan di atas KRL ataupun di jam-jam senggang lainnya. Salah satu info yang menggugah saya adalah tentang tutupnya satu (sedikitnya) tempat makan setelah mendapat review negatif dari (menurut tulisan tersebut) seorang influencer a.k.a food vlogger terkenal. Kolom komentar di bawah info tersebut berisi dua pandangan utama. Pertama makian kepada sang influencer yang dianggap bertanggungjawab merusak bisnis seseorang dan pegawai beserta keluarga mereka. Kerja keras pengusaha yang membangun bisnis boga dirusak dalam satu unggahan yang brutal. Kelompok komentar ke-dua saya simpulkan merupakan “pembelaan” atas hak seseorang untuk menilai secara jujur apa yang ia temukan, termasuk dalam menilai sebuah karya kuliner. Meskipun tentu sebenarnya, keberhasilan atau kegagalan produk tersebut tidak dapat diletakkan di pundak seorang konsumen saja.  

Dalam kasus tersebut saya menimbang ulang kebenaran adagium ‘pembeli adalah raja’. Banyak faktor mempengaruhi penilaian terhadap penentuan cita rasa yang berujung pada kesimpulan enak, agak enak, sangat enak atau tidak enak hingga tidak enak sama sekali. Lidah, mata, jenis kelamin dan usia adalah faktor penentu (Jos Mojet dkk, 2003). Budaya juga mempengaruhi preferensi cita rasa seseorang. Sehingga, sebenarnya penilaian cita rasa satu masakan tidak mutlak monopoli seseorang (raja) atau sekelompok orang.

Peristiwa ke-dua yang mengubah penilaian saya terhadap pernyataan ‘pembeli selalu benar’ adalah saat saya dan beberapa teman berkunjung ke sebuah kedai kopi yang sedang jadi perbincangan banyak orang di Kawasan Bogor, Jawa Barat. Empat puluh km lebih perjalanan kami tempuh dari Tangerang Selatan ke lokasi yang dimaksud. Setelah melintasi tol BSD-Cinere Depok-Bogor lalu jalan mendaki yang relatif sempit sejauh 10 km, kami pun tiba. Lahan parkir yang terhitung jumbo itu penuh dengan kendaraan dan lalu lalang manusia. Tiga hektar kata teman saya, ketika saya bertanya-tanya seberapa luas tempat tersebut. Widih!

Setelah melintasi tempat parkir dan jalan setapak sekitar 300 meter, kami memasuki hutan jati rimbun yang di sela-selanya terdapat kursi meja penuh dengan para pengunjung yang menikmati kopi, roti bakar, hingga makanan “ndeso”. Ya ndeso, karena kebanyakan berupa ikan asin, bakwan goreng, tahu tempe goreng, ayam goreng dan sayur asem. Apa arti kenikmatan? Soal rasa relatif kan, tetapi mungkin banyak yang senang dengan pemandangan dan segarnya udara pegunungan yang ditawarkan.

Pada titik itu, saya menyimpulkan pembeli tidak lagi menjadi raja. Puluhan atau mungkin ratusan orang yang berkunjung ke tempat itu telah menjadi korban rasa ingin tahu (promosi lewat media sosial atau word of mouth). Apakah mereka akan repeat order alias datang lagi untuk mengulangi pengalaman itu tentu fifty-fifty. Bayangkan, perlu niat dan usaha buat datang, belum lagi untuk memesan makanan pengunjung harus membuat antrean di depan satu-satunya kasir pada warung makan ndeso itu. Pemilik lokasi itu adalah raja yang sebenarnya!

Dalam beberapa kesempatan, IKComm selalu mengingatkan beberapa klien tentang pentingnya seorang konsumen untuk memiliki pengalaman dilayani ataupun berbelanja yang baik. Di dalamnya terdapat pelayanan staf, kemudahan memperoleh informasi, kecepatan merespon keluhan hingga display yang memuaskan mata. Tentu saja semua aktivitas itu harus berada dalam koridor kewajaran, karena baik produsen maupun konsumen perlu saling menghargai dan menghormati. Mengapa tidak menikmati kemajuan bersama-sama tanpa saling melemahkan pihak lainnya?

Saya jadi teringat lirik lagu hard rock Avenged Sevenfold berjudul ‘Hail to The King’:

Watch your tongue or have it cut from your head

Save your life by keeping whispers unsaid

Hail to The King

Hail to the one

Kneel to the crown

Stand in the sun

Hail to the King!

 

Jakarta, 27 Mei 2024

Previous JournalKrisis yang Mengancam Reputasi
Next JournalKonteks oh Konteks